SabdaNews.com – Momentum pandemi covid-19 dan paska pandemi yang dilanjut dengan ancaman resesi ekonomi global saat ini, dinilai pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam sangat menguntungkan bagi para pemimpin perempuan.
Hal itu dibuktikan banyak pemimpin internasional yang berasal dari perempuan justru lebih sukses dibanding pemimpin laki-laki. Contoh, PM Taiwan, PM Selandia Baru, PM Jerman dan beberapa Presiden di Amerika Latin yang perempuan juga dinilai jauh lebih empati, lebih mengayomi dan lebih mengasihi dalam konteks penanganan pandemi kemarin.
“Makanya dari sisi momentum itu harusnya pemimpin-pemimpin perempuan lebih diuntungkan. Seharusnya kalau paham teori Nocturn Politic, semestinya peran pemimpin perempuan bisa dimaksimalkan,” ujar Surokim Abdussalam, Senin (13/2/2023).
Anehnya, kata Surokim momentum menguntungkan itu tidak berdampak signifikan bagi penguatan pemimpin perempuan di Indonesia. Hal itu terlihat adanya ketidakharmonisan dan kurangnya kordinasi antara Mensos Tri Rismaharini dan Gubernur Jatim Khofifah saat penanganan Pandemi lalu yang justru dipertontonkan ke publik.
“Untungnya, bu Khofifah tanggap dan mampu menutupi kekurangan itu dengan kordinasi dan kolaborasi yang baik dengan para bupati dan walikota di Jatim sehingga penanganan pandemi covid bisa berjalan dengan baik,” terang peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC).
Begitu juga dalam penanganan ancaman resesi ekonomi global, lanjut Surokim merupakan momentum yang menguntungkan bagi para pemimpin perempuan.
“Namun kuncinya bergantung pada kapasitas masing-masing pemimpin perempuan itu sendiri. Apakah mereka menyadari dan mampu memanfaatkan kondisi makro itu atau tidak,” tegas Dekan FISIB UTM ini.
Hal itu juga yang menjadi penyebab tingkat elektabilitas Gubernur Khofifah maupun pemimpin perempuan lainnya seperti Tri Rismaharini, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti maupun Retno Marsudi di level nasional masih terlalu kecil. Padahal harusnya bisa lebih tinggi dari angka yang ada saat ini.
“Saya sendiri selaku akademisi dan pengamat juga heran, kenapa momentum kepemimpinan feminim nocturn kok politisi perempuan di Indonesia tidak bisa bergerak signifikan elektabilitasnya. Padahal kondisi makro justru lebih berpihak dan sangat mashur,” dalih Surokim.
Ia mengakui para pemimpin feminin di Indonesia terutama sebagian besar kepala daerah, kepemimpinan cenderung warisan dari suami maupun keluarga sehingga kepemimpinannya tidak independen dan bersifat patriarki.
“Mungkin inilah yang membuat citra kepemimpinan perempuan di Indonesia tidak terlalu menguntungkan untuk mendongkrak elektabilitasnya karena belum bisa lepas dari bayang-bayang suami atau keluarga. Sehingga berdampak pula pada pemimpin perempuan independen seperti Bu Khofifah,” jelas Surokim. (tis)