SabdaNews.com – Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Adhy Karyono menyatakan program hibah dari APBD Jatim dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan intruksi dari Kementerian Dalam Negeri yang meminta besaran dana hibah tidak lebih besar dari 10 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kalau untuk nominalnya, yang lebih tahu adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Yang pasti turun,” kata Adhy Karyono saat dikonfirmasi Jumat (20/1/2023).
Sementara itu berdasarkan data yang diperoleh Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Provinsi Jawa Timur, belanja Hibah pada APBD Jatim tahun 2021 dialokasikan sebesar Rp10.274.943.690.490,00.
Kemudian belanja Hibah pada APBD Jatim 2022 dialokasikan sebesar Rp5.318.114.608.070,00. Sedangkan belanja hibah pada APBD Jatim 2023 dialokasikan sebesar Rp3.365.394.584.224,00.
Menanggapi hal tersebut, anggota DPRD Jatim Mathur Husyairi mengatakan tidak mempersoalkan jika anggaran dana hibah besarannya cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Alasannya, kata politikus asal PBB, program hibah sebenarnya bertujuan sebagai penunjang pembangunan pemerintah daerah.
“Artinya itu bukan urusan wajib, namun hibah ini banyak menjadi pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD Jatim yang diserap saat melakukan reses. Sebenarnya pada proses penganggaran, reses pun tidak harus berupa hibah,” beber Mathur.
Lebih jauh Mathur menjelaskan bahwa pokir ini seharusnya menjadi program yang melekat pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) masing-masing.
Namun di Pemprov Jatim ini sudah menjadi kesepakatan yang tidak tertulis sejak lama teman-teman anggota dewan ini mengelola reses itu dengan dana hibah. Sehingga muncul kelompok-kelompok masyarakat (pokmas), yayasan, masjid, mushola, UMKM dan bentuk-bentuk lembaga pemberdayaan lainnya.
“Kalau saya bilang hati-hati dalam alokasi dana hibah. Saya juga sudah lama meminta agar Pemprov Jatim mempublis siapa saja penerima hibah saat ini. Tujuannya agar masyarakat bisa memantau bersama mengenai anggaran itu,” jelasnya.
Ia juga tidak mempersoalkan kalau anggaran besaran dana hibah turun. Asal, program yang menjadi prioritas dengan menyinkronkan antara RPMD dan RKPD setiap tahunnya masih on the track dan berkesinambungan.
“Saya setuju dengan pengurangan dana hibah sebagai bentuk sikap hati-hati yang perlu didukung. Karena sejauh ini anggaran hibah Pemprov terlalu tinggi. Bahkan di 2020 semisal, hibah menyentuh hingga angka Rp 10 triliun padahal kekuatan APBD hanya dikisaran Rp.33-34 triliun,” beber Mathur.
Pertimbangan lainnya, lanjut Mathur selama ini distribusi program hibah juga tidak merata. Sebab mayoritas hibah larinya ke Pulau Madura. Ironisnya, kendati digelontor hibah triliunan namun Madura itu tidak mengalami perubahan signifikan.
Di contohkan, angka stunting tetap tinggi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga masih rendah, belum lagi soal kemiskinan Madura menempati peringkat tertinggi di Jatim.
“Sebaiknya alokasi bantuan (hibah) memang diberikan ke sektor lain. Yang berdampak langsung ke masyarakat. Seperti pengentasan masalah kemiskinan ekstrem dan lain sebagainya,” pungkas voalis DPRD Jatim ini. (pun)