Catatan Redaksi
SabdaNews.com – Sejak diperkenalkannya opsi kotak kosong dalam pemilu kepala daerah dengan calon tunggal di Indonesia, para ahli politik memandangnya sebagai bentuk “Protes yang dilegalkan.” Fenomena kotak kosong juga dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap sistem politik yang dianggap elitis, tertutup, atau hanya mewakili kepentingan oligarki.
Dr. Firman Noor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut tingginya suara kotak kosong menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat. Tentu saja, jika ditarik ke dalam konteks lokal, ini bisa menjadi pesan jelas bahwa sebagian besar pemilih merasa tidak memiliki pilihan alternatif. Ketika demokrasi kehilangan daya saing, maka kotak kosong menjadi simbol perlawanan dan pemberontakan.
Apalagi faktanya, kemenangan kotak kosong bukanlah hal yang asing di Indonesia. Kasus pemilihan Wali Kota Makassar tahun 2018 menjadi contoh dimana kotak kosong berhasil menang melawan calon tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki keberanian untuk menolak kandidat yang dirasa tidak merepresentasikan kepentingan mereka.
Pada pilkada serentak 2024, terdapat 43 calon tunggal yang muncul di berbagai kabupaten/kota dan satu provinsi di Indonesia. Perlawanan terhadap kotak kosong nampak jelas terjadi di Kabupaten Gresik. Dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) 971.740 suara, ada lebih dari 300 ribu lebih masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) dan sebanyak 4 kecamatan calon tunggal perolehan suaranya kalah dengan uara kotak kosong. Ini bisa menjadi sebuah sinyal apatisme yang mengakar di kota Pudak saat ini.
Prof. Alfitra Salam dari Universitas Airlangga pernah menyampaikan, bahwa partisipasi rendah ini seringkali disebabkan oleh rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem politik. “Golput dan kotak kosong adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya menandakan bahwa masyarakat tidak puas terhadap kandidat yang disodorkan, maupun terhadap tata kelola politik di daerah mereka,” katanya.
Sementara dalam buku “Political Participation,” karya tiga ilmuwan politik dunia, Verba, Schlozman, dan Brady menyebut bahwa partisipasi politik adalah indikator utama dari legitimasi pemerintahan. Ketika partisipasi rendah, maka pemerintah yang terpilih menghadapi tantangan besar untuk memperoleh Public Trust (kepercayaan masyarakat) yang merupakan sumber kekuatan dari seorang pemimpin.
Senada, Samuel P. Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies menyatakan fenomena seperti itu sebagai “the gap of expectations.” Yang bisa dimaknai ketika aspirasi masyarakat tidak terpenuhi oleh sistem politik, mereka akan mencari cara alternatif untuk mengekspresikan kekecewaan mereka, termasuk melalui abstensi atau dukungan terhadap kotak kosong.
Pelajaran dari Pilkada Gresik untuk Demokrasi Nasional
Kemenangan sementara pasangan Yani-Alif di Kabupaten Gresik harus dilihat sebagai mandat sekaligus tantangan. Mereka tidak hanya harus membuktikan bahwa program kerja mereka mampu memenuhi harapan masyarakat, tetapi juga harus bisa merangkul kelompok-kelompok yang memilih kotak kosong atau golput. Dalam konteks ini, transparansi, akuntabilitas, dan pendekatan partisipatif menjadi kunci.
Pengamat politik Titi Anggraini menyarankan bahwa pemerintahan daerah yang tidak memiliki Public Trust tinggi, perlu membangun mekanisme konsultasi publik yang aktif agar masyarakat merasa didengar.
“Kemenangan adalah awal dari perjalanan. Menjaga kepercayaan publik adalah kerja keras yang membutuhkan konsistensi,” kata Titi. Dalam hal ini pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program kerja dapat menjadi langkah awal untuk membangun kepercayaan publik.
Fenomena kotak kosong di Gresik bisa menjadi refleksi mikro dari demokrasi nasional. Dalam laporan Democracy Index 2023 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat ke-54 dunia dengan skor yang cenderung menurun dalam partisipasi politik pada beberapa tahun terakhir.
Untuk memperbaiki situasi ini, reformasi sistem politik lokal diperlukan. Pendidikan politik yang inklusif, penguatan peran partai politik sebagai agen perubahan, serta kebijakan yang mendorong lebih banyak kandidat independen adalah langkah penting yang harus diambil.
Banyaknya pemilih kotak kosong di Gresik jangan dianggap sekadar angka. Hal ini harus menjadi pengingat bahwa demokrasi lokal kita masih menghadapi tantangan besar. Masyarakat telah berbicara melalui suara mereka, baik yang memilih kotak kosong, golput, maupun pasangan calon. Kini, giliran pemerintah dan sistem politik untuk mendengarkan, memperbaiki, dan memastikan bahwa demokrasi bekerja untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang maupun kelompok. (tis)
#Kotak Kosong Simbol Perlawanan Rakyat Yang Dipaksakan Oligarki
#Pilkada Gresik 2024