Oleh : Ahmad Ahkamul Arif
SabdaNews.com- Adanya klasifikasi tentang kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang meliputi teis, ateis, dan agnostik, melahirkan istilah yang disebut sekularisme. Ada banyak padanan kata, yaitu sekularisme, sekular, hingga sekularisasi, yang intinya adalah sebuah upaya untuk memisahkan agama dengan negara. Wacana ini selalu baru, dan hingga sekarang, sekularisme masih mempertanyakan tentang alasan mengapa agama dan negara harus berada dalam satu wadah, dengan nilai-nilai keagamaan yang mendominasi.
Pippa Norris dan Ronald Inglehart dalam bukunya yang berjudul Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide melukiskan dengan apik bagaimana agama dan teknologi memainkan peranan dalam perjalanan hidup manusia, dengan hipotesis bahwa dominasi agama akan menurun, hilang, atau bahkan mati, seiring waktu, digantikan dengan perkembangan teknologi. Hipotesis ini telah ada sejak lama, dan nyatanya masih ‘dilestarikan’, hingga saat ini.
Sekularisme sesungguhnya tidak lebih dari salah satu diantara banyaknya anti-tesis terhadap hubungan antara agama dan negara. Ini tentu beralasan. Bagaimanapun juga, agama dan negara adalah dua komponen yang masing-masing memiliki eksplorasinya sendiri. Agama, merupakan sebuah wadah yang menjadi jembatan antara manusia dengan Tuhan sekaligus ajaran-ajarannya, yang semua itu tertuang dalam kitab suci.
Sementara negara, merupakan unifikasi antara manusia, wilayah, dan sistem pemerintahan. Negara merupakan kebutuhan primer dalam eksistensi manusia, sementara agama merupakan kebutuhan komplementer, namun memiliki keterikatan yang tidak dapat dipisahkan dalam keseharian. Singkatnya, baik agama dan negara sama-sama merupakan sesuatu hal yang penting.
Problem mengenai sekularisme sebenarnya dapat terus berkembang, terutama di negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan atas dasar pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Namun, hal ini tidak menjadi sebuah problem yang signifikan efeknya bagi negara Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan pendudukan muslim terbanyak kedua didunia, dengan jumlah sekitar 229,6 juta, dilansir dari laman daring World Population Review. Ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, Islam menjadi dominasi tersendiri di Indonesia, yang tentunya hal ini sangat berpengaruh terhadap identitas bangsa dan pola kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Banyaknya umat muslim di Indonesia menjadi sebuah pertanyaan fundamental tersendiri, namun tetap menarik untuk diikuti, mengingat bahwa masyarakat Indonesia tidak tumbuh dengan dasar-dasar keislaman. Islam mulai menapaki Indonesia jauh setelah populernya agama-agama ardhi seperti Hindu dan Buddha, sekaligus keyakinan leluhur akan animisme dan dinamisme. Keyakinan pra-Islam inilah yang mengakar kuat, menjadikan Islam sebagai ‘pemain baru’ yang mendapatkan panggung kursi kepemimpinan dalam hal agama merupakan suatu hal yang luar biasa.
Terdapat banyak jawaban, misalkan tentang kesadaran dan pola pikir yang semakin berkembang. Namun, yang lebih dari itu tidak lain adalah implementasi atas nilai-nilai Pancasila yang senantiasa diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Jika membaca kembali sejarah era kolonial, masyarakat Indonesia telah kental dengan yang namanya nilai-nilai sosial kemasyarakatan seperti tenggang rasa, gotong royong, hingga toleransi. Sikap sosial inilah yang kemudian menjadi jalan masuk agama Islam ke dalam sistem sosial di Indonesia.
Islam sebagai agama samawi yang mengimani Allah SWT sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhir dengan kitabnya yang berisikan ajaran-ajaran paripurna yaitu Al-Qur’an, menerapkan semua itu dalam perspektif keislaman. Islam mendasarkan aturan bersikap dan berperilaku kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Epistemologi Islam memberikan fokus bahasan akan sumber pengetahuan ke dalam beberapa tingkatan. Pertama adalah wahyu, yang diwakili oleh Al-Qur’an yang merupakan tuntunan hidup umat Islam sekaligus sebagai sumber kebenaran yang diimani. Kedua adalah akal, yang merupakan sumber pengetahuan mengandalkan rasio sekaligus sebagai kacamata baca dalam memahami wahyu maupun realitas.
Kedua sumber pengetahuan tersebut kemudian dipadukan dengan fakta empiris yaitu berupa pengamatan serta pengalaman keagamaan atau yang juga disebut dengan intuisi. Keempat sumber pengetahuan dalam Islam tersebut hadir dengan tujuan untuk memperlihatkan pentingnya pemahaman tentang realitas dengan tetap menyeimbangkan antara wahyu serta akal, yang disini juga dalam hubungannya dengan kehidupan bernegara.
Sementara itu, jika membedah makna Pancasila, maka terdapat hubungan yang nyata antara Pancasila dengan epistemologi Islam. Membedah sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, memperlihatkan akan urgensi beragama, yang dalam hal ini memeluk agama Islam dengan mendasarkan pada akidah ketauhidan.
Sila kedua adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, selaras dalam Islam yang memperhatikan tentang tata cara bersikap baik kepada sesama manusia, dengan memahami dan berfokus pada menata sikap maupun mental diri sendiri. Sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia, berhubungan dengan dasar-dasar persaudaraan atau ukhwah, baik persaudaraan seagama, sebangsa, maupun sebagai sesama manusia ciptaan Allah SWT.
Sila Keempat yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serupa dengan ajaran Islam yang mengedepankan musyarawarah untuk mencapai mufakat atas suatu masalah. Dan Sila Kelima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, selaras dengan ajaran Islam yang mengedepankan keadilan dalam setiap perilaku sosial.
Namun, meskipun ada banyak relasi antara Pancasila dengan ajaran-ajaran Islam, terkadang beberapa hal ditemukan berlawanan dan saling berkontradiksi. Hal-hal tersebut antara lain mengenai sekularisme. Sekalipun sudah jelas bahwa terdapat akan relasi keduanya, namun tidak dapat dihindari fakta akan inklusivitas Pancasila, yang tidak hanya menjadikan wahyu Al-Qur’an sebagai dasar hukum utama.
Selain itu, bantahan yang seringkali muncul adalah implementasi atas hukum Islam dalam Negara Indonesia. Islam sebagai agama mengedepankan aturan-aturan dalam Islam sebagai hukum, sementara itu ada beberapa aturan yang mungkin berbenturan dengan Pancasila yang cenderung berada dalam sisi pluralitas beragama tanpa terkecuali.
Menanggapi dua kontradiksi tersebut sesungguhnya adalah dengan mengembalikan kesadaran akan fakta bahwa Pancasila merupakan dasar yang dianut oleh semua orang tanpa terkecuali, sementara Islam sebagai agama tentunya nilai-nilai yang diyakininya hanya akan dianut oleh umat muslim.
Karena universalitas Pancasila inilah, maka bagaimanapun, posisinya tidak dapat digantikan oleh apapun. Bukan berarti dalam hal ini Pancasila dan Al-Qur’an dikondisikan dalam satu posisi dan diperbandingkan, namun untuk memperlihatkan akan pentingnya Al-Qur’an sebagai hukum utama Islam yang memang memiliki keselarasan dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila.
Selain itu, universalitas Pancasila sesungguhnya juga sudah memperlihatkan bahwa Pancasila adalah tempat nilai dan hukum dalam Al-Qur’an bernaung. Karena sebagai tempat bernaung, maka tidak hanya hukum dalam Islam, namun hukum dari agama lain seperti Kristen, Hindu, Buddha, hingga Konghuchu juga dalam naungan Pancasila secara setara.
Keberadaan Pancasila sesungguhnya untuk memastikan kesamarataan implementasi atas hukum-hukum dari masing-masing agama. Tentu akan ada perbedaan, namun sekali lagi, dengan mengembalikan perbedaan tersebut kepada Pancasila itu sendiri, akan memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan antara aturan agama yang satu dengan yang lain.
Pada akhirnya, menjadi seorang muslim juga berarti menjadi seorang nasionalis. Agama merangkul Pancasila, dan Pancasila juga menaungi agama. ( Penulis : Ahmad Ahkamul Arif (Ketua Karangtaruna Desa Lowayu, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik/Red)