Khofifah-Emil Bukan Hanya Mampu Kelola Sampah Terintegrasi Tapi Juga Solusi Penanganan Limbah B3 Di Jatim

Debat Pubik Paslon Pilgub Jatim 2024 Ketiga

by Redaksi

Pasangan Khofifah-Emil saat tampil pada debat publik ketiga Pilgub Jatim 2024 (ft/fathis)

SabdaNews.com  – Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur nomor urut 02, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak tampil memukau pada Debat Publik Paslon Pilgub Jatim 2024 Ketiga dengan tema “Akselerasi pembangunan infrastruktur, interkoneksitas kewilayahan dan peningkatan lingkungan hidup untuk mewujudkan Jawa Timur sebagai episentrum ekonomi kawasan timur Indonesia”.

Cagub Petahana bukan saja mampu menjawab pertanyaan yang dibuat panelis dengan baik tetapi juga sanggup menanggapi respon yang diberikan Cagub Luluk Nur Hamidah maupun Cagub Tri Rismaharini dengan akurasi data dan fakta. Hal itu terungkap saat menjawab persoalan terkait program spesifik pembangunan sarana dan prasarana persampahan yang menjamin terwujudnya sistem pengelolaan persampahan yang terintegrasi.

Khofifah dengan lugas menyatakan bahwa fokus pengelolaan sampah itu menjadi kewenangan di pemerintahan kabupaten/kota. Oleh karena itu Pemprov Jatim mengambil posisi bagaimana membangun patnership dengan semua elemen strategis. Dicontohkan, perlunya bank sampah di setiap keluarga itu diinisiasi bagaimana mereka mampu memulai memilah dan memilih sampah dari rumah masing masing, sehingga edukasi masyarakat menjadi sangat penting.

Bahkan, kata Khofifah, di sejumlah pesantren yang ada di Jatim juga sudah memulai mengubah sampah menjadi rupiah (uang). Proses proses seperti ini harus menjadi lesson learned (pembelajaran yang baik) bagi seluruh elemen masyarakat di lini manapun.

Lantas apa yang sudah dilakukan Pemprov Jatim 5 tahun terakhir? Khofifah menjelaskan pihaknya telah menyiapkan yang lebih advances (canggih), karena masih ada persoalan limbah bagi bahan yang berbahaya dan beracun (B3) di Jatim.

“Pemprov Jatim sudah menyiapkan lahan untuk pembuangan limbah B3 di Dawarblandong Mojokerto yang sudah berjalan 1 tahun lebih. Kami ingin menyampaikan bahwa persoalan sampah ini adalah persolaan yang harus dihadapi bersama, melibatkan sekian banyak elemen. Termasuk yang berbasis rumah tangga (keluarga) untuk mengedukasi bagaimana sampah bisa menjadi rupiah, sampah menjadi berkah. Dan itu menjadi kesadaran bersama,” tegas Ketum PP Muslimat NU ini.

Menanggapi jawaban tersebut, Cagub Tri Rismaharini memberikan tanggapan bahwa sampah rumah tangga itu bisa diselesaikan diawal umah tangga itu sendiri. Caranya dengan mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah basah dan sampah kering, organik dan anorganik sehingga bisa memiliki nilai ekonomis.

Bahkan saat Tri Rismaharini menjadi Kadis Kebersihan, dia mengajarkan hal ini. Sehingga masyarakat kemudian berterima kasih karena mereka bisa berkreasi terkait sampah. Sampah basah menjadi kompos dan sampah kering bisa dijual, dan nilainya sangat fantastis.

“Ke depan karena saya mantan kepala dinas kebersihan, saya tahu biaya operasional kebersihan yang terbesar adalah angkutan transportasi sampah menuju ke TPA,” ungkapnya.

Sementara Cagub Luluk Nur Hamidah memberikan tanggapan bahwa mandat dari UU No.18 tahun 2008 itu jelas bahwa Pemda memiliki tanggungjawab agar pengelolaan sampah itu bisa diselenggarakan dengan baik. Namun kalau dilihat dari sistem informasi pengelolaan sampah nasional yang mengatakan bahwa Jatim memproduksi sampah yang besar 5-6 juta ton pertahun tetapi hanya memiliki kemampuan 2,6 juta ton pertahun.

“Berarti pemerintah provinsi Jatim gagal untuk menginventaris terkait dengan sampah. Oleh karena itu kita harus memastikan sampah bisa dikelola menjadi energi. Dan pengelolaan itu bisa dengan digitalisasi pengelolaan sampah karena kita punya starup namanya firth coaching dan itu juga ada di Jatim,” ungkapnya.

“Selain itu diperlukan ketersediaan anggaran agar ada inisiatif dari masyarakat. Melibatkan organisasi perempuan termasuk Muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah agar menjadi champion terkait dengan 3R yaitu Reduce (kurangi), Reuse (gunakan kembali) dan Recycle (daur ulang) yang berbasis komunitas,”imbuhnya.

Merespon tanggapan yang diberikan dari Cagub nomor urut 03 dan Cagub nomor urut 01, Cagub Khofifah dengan santai menyatakan bahwa dengan kerja keras dan peran serta semua elemen, saat ini di Jatim ada 5.103 bank sampah. Kemudian 351 tempat pembuangan sampah yang sudah masuk kategori 3R. Lalu 241 rumah kompos, 2.377 TPS.

“Saya ingin menyampaikan bahwa hari ini ada kemampuan seluruh elemen di Jatim ada 3,8 juta ton sampah yang bisa kita kelola. Hari ini ada 50 TPA yang sudah menjadi sanitary landfill kerjasama dengan sangat banyak negara di dunia” pungkas Cagub nomor urut 02 Khofifah Indar Parawansa.

Tak mau kalah, Cawagub nomor urut 02 Emil Elestianto Dardak dalam sesi tanya jawab antar Cawagub juga menyoal kembali persoalan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan hidup khususnya terkait limbah B3 untuk ditanyakan ke Cawagub nomor urut 01.

Mengingat, di satu sisi industri adalah penyumbang terbesar limbah B3 tetapi di sisi lain industri juga dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja yang banyak dibutuhkan masyarakat. Strategi konkret seperti apa untuk penanganan limbah B3 di Jatim?

Sayangnya, Cawagub Lukmanul Khakim jawabannya tidak memberikan solui karena fokus pada pengawasan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang disertai dengan contoh kasus yang baru saja diputus perkaranya oleh PN Surabaya terhadap salah satu perusahaan di Pasuruan yang terbukti melakukan pencemaran lingkungan hidup.

Karena jawaban gak nyambung dengan pertanyaan yang pada dasarnya berorientasi pada dunia kerja dan ekonomi, maka Cawagub Emil memberikan respon bahwa penegakan hukum lingkungan harusnya dibarengi dengan upaya memberikan solusi konkret yaitu penyediaan tempat pengolahan limbah B3.

“Di Indonesia baru ada satu di Cileungsi Bogor, makanya kita bikin menjadi dua sekarang karena di Jatim sudah ada tempat penganagan limbah B3 (PPSLB3 Dawarblandong). Ini adalah terobosan yang luar biasa karena industri di Jatim tak perlu jauh jauh kirim limbah B3 ke Cilingsi karena mereka bisa kirim ke Dawablandong Mojokerto,” jelas Emil Dardak.

“Ini menjadi solusi untuk memecahkan dua permasalahan. Lingkungan hidup tetap terjaga tapi di saat yang sama industri dapat solusi sehingga kita bukan saja memberikan sanksi tapi kita juga memberikan solusi kepada pertumbuhan ekomoni,” imbuhnya. (pun)

You may also like

Leave a Comment