11
Pernyataan itu disampaikan Anggota Komisi E DPRD Jatim Mathur Husyairi di kantor DPRD Jatim di jalan Indrapura Surabaya, Rabu (1/2/2023).
“Kebanyakan mainset masyarakat Jatim itu walaupun tergolong orang mampu bahkan kaya tapi tidak malu minta jatah kalau ada program bantuan dari pemerintah. Akibatnya angka kemiskinan juga sulit turun walaupun pemerintah sudah menghabiskan uang ratusan triliun untuk program pengentasan kemiskinan,” terang politikus asal Bangkalan Madura.
Di sisi lain, pemerintah daerah justru menjadikan masalah kemiskinan menjadi isu yang seksi sehingga layak dijadikan topik pembahasan untuk membuat beragam program pembangunan dalam rangka pengentasan kemiskinan sekaligus menghabiskan anggaran.
“Tapi beragam program pengentasan kemiskinan yang dibuat pemerintah daerah itu outputnya cenderung tidak jelas karena tidak memiliki data base dan tidak adanya evaluasi,” beber politikus asal PBB.
Sebagaimana diketahui data kemiskinan di Indonesia selama ini tersentral di Kemensos melalui DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Sedangkan untuk realisasi program pengentasan kemiskinan ditangani berbagai kementerian dan banyak yang tumpang tindih serta tidak tepat sasaran.
Ironisnya evaluasi angka kemiskinan, mulai pemerintah pusat hingga daerah hanya bergantung pada data BPS yang dirilis tahunan. Akibatnya ketika data yang dirilis tersebut tak sesuai dengan harapan, pemerintah daerah berlomba mencari alasan pembenaran agar kinerjanya tak disorot dan dikatakan gagal.
Padahal data BPS justru lebih detail dibanding data Kemensos karena data basenya diambil dari hasil sensus bukan hanya sampling seperti yang dimiliki pemerintah.
“Sudah seharusnya setiap pemda memiliki data base kemiskinan di daerahnya by name by addres jika memang serius menangani masalah kemiskinan. Sehingga kemiskinan tidak dijadikan komoditas politik pencitraan,” tegas Mathur.
Ia mencontohkan, angka kemiskinan di Jatim yang dirilis BPS menyatakan bahwa per Maret 2019 sebanyak 10,37 % dan per September 2019 menjadi 10,20 %. Kemudian Maret 2020 sebanyak 11,09 % dan per September 2020 menjadi sebanyak 11,46%.Bahkan data terakhir BPS per September 2022 angka kemiskinan Jatim menjadi 10,49 %.
“Hasil BPS ini juga bisa diartikan bahwa Pemprov Jatim tidak punya program pengentasan kemiskinan yang jelas atau hasilnya tak sesuai dengan harapan,” jelas Mathur.
Idealnya, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang juga mantan Mensos bisa lebih baik menangani masalah kemiskinan di Jatim karena sekupnya sekarang lebih kecil yakni provinsi. Namun, faktanya program pengentasan kemiskinan seperti Jatim Puspa, Feminimisme maupun PKH Plus juga masih jauh dari harapan karena persoalan dasar yakni data base kemiskinan dan evaluasi tidak ada.
“Logikanya pemerintah daerah yang memiliki power dan anggaran bisa membuat data base kemiskinan by name by addres. Kalaupun tak mampu saya kira bisa menggandeng pihak ketiga karena di Jatim banyak perguruan tinggi yang mumpuni untuk itu. Jadi tinggal political will dari kepala daerahnya,” dalih Mathur.
Ia juga tidak menyangkal jika sebagian masyarakat menilai berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah daerah itu tak ubahnya program bagi-bagi uang atau charity semata.
“Itu semua berawal dari kesalahan analisa data, kemudian salah perencanaan sehingga eksekusi programnya juga salah. Program pengentasan kemiskinan tak ada beda dengan bagi-bagi uang. Ini juga menjadi tren di semua daerah hingga pemerintah pusat,” ungkap vocalis Komisi E DPRD Jatim.
Ke depan, pihaknya mengusulkan ke Komisi E DPRD Jatim menggelar rapat koordinasi lintas komisi untuk penanganan kemiskinan di Jatim yang lebih serius. Alasannya, Dinas PMD Jatim yang menangani program Jatim Puspa adalah mitra Komisi A sehingga pembahasan perlu lintas sektor.
Mathur juga sepakat dan mendukung penerima program bantuan pemerintah untuk penanganan kemiskinan, kesehatan maupun pendidikan diberikan stiker atau tanda khusus rumahnya agar masyarakat bisa ikut mengawasi bahwa para penerima itu memang tepat sasaran.
“Saya yakin orang yang tak berhak menerima bantuan akan mengembalikan atau menyerahkan kepada yang lebih berhak sebab mereka akan malu disebut miskin oleh masyarakat sekitar karena tidak sesuai realita di lapangan,” pungkasnya. (tis)