SabdaNews.com – Silang sengkarut bahkan cenderung inkonsistensi sikap dari orang-orang yang duduk di struktural NU menghadapi pemilu serentak 2024 membuat kekhawatiran sebagian besar warga nahdliyin (kultural NU) terhadap marwah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.
Keresahan itu juga dirasakan sejumlah kiai dan gus lantaran sikap PBNU lain di mulut lain di aksi. Walaupun secara formal dan organisasi tidak mendukung salah satu paslon di Pilpres 2024. Namun secara kasat mata struktural digerakkan untuk mendukung paslon tertentu.
Prof Dr Nadirsyah Hosen LL.M, MA, Ph.D salah satu aktivis dan cendekia NU dalam podcast ‘Mojok Suara Orang Biasa’ juga merasakan keresahan tersebut lantaran struktural NU saat ini cenderung terseret Politik Kekuasaan dan melupakan Politik Kebangsaan yang menjadi ciri khas NU selama ini.
Dosen Monash University Australia ini juga mengaku heran dengan sikap menjaga Khittoh NU 1926 yang dilakukan PBNU menghadapi pemilu 2024 karena menjaga jarak yang sama atau merangkul semua parpol kecuali PKB. Padahal secara historis PKB didirikan oleh NU.
Ia juga sudah melakukan tabayyun ke sejumlah kiai sepuh yang turut hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan PBNU bersama rais syuriah dan ketua tanfidziyah NU se Indonesia di Hotel Bumi Surabaya beberapa waktu lalu.
“Dalam pertemuan itu ada dawuh atau intruksi atau apalah namanya yang tidak tertulis karena bukan keputusan resmi organisasi tapi menggerakkan struktur organisasi secara massif sampai ke bawah untuk mendukung paslon tertentu,” ujar Prof Nadirsyah dikutip dari popcast mojokdotco yang diunggah 2 hari lalu.
Sikap PBNU ini, lanjut Prof Nadir tentu bertolakbelakang dengan sikap NU selama ini yang selalu mengedepankan politik kebangsaan daripada politik praktis atau politik kekuasaan.
Hal ini tentu akan membahayakan bagi NU, lanjut Nadirsyah. Pertama, ketika NU sudah menyatakan dukungan pada paslon tertentu naik secara formal maupun nonformal, maka kekuatan civil society di sudah tak berdaya menghadapi pemilu kali ini. Sebab sikap kritis yang menjadi kekuatan civil society akan tumbang dan NU adalah bagian dari civil society itu.
Kedua, lanjut Nadirsyah jika terjadi chaos di pemilu mendatang, maka NU yang selama ini dipercaya menjadi elemen kuat perekat bangsa, apakah NU masih bisa dipercaya untuk menengahi konflik-konflik akibat kepentingan politik Pilpres itu lantaran NU sudah ikut menggerakkan strukturalnya secara massif mendukung paslon tertentu.
“Kita akan kehilangan marwah NU, sebab NU itu selama ini dikenal sebagai elemen perekat bangsa. Lebih lebih keputusan yang dibuat NU itu selalu ada landasan fiqhnya namun dukungan ke paslon tertentu itu tidak dijelaskan sehingga membuat rais syuriah wilayah maupun cabang kesulitan untuk menjelaskan kepada umat,” ungkap putera pendiri IIQ Jakarta ini.
Menyikapi sikap PBNU seperti itu, Gus Nadir sapaan akrabnya mengaku sudah menemui beberapa kiai sepuh untuk menggulirkan gerakan ‘Mari Kita Jaga Marwah NU’. Tujuannya supaya ada suara suara lain yang harus didengar publik, bahwa NU itu tidak semuanya mendukung paslon tertentu.
“Publik dan semua elemen bangsa juga biar tahu bahwa di luar struktural NU, masih ada yang ingin NU memainkan politik kebangsaan bukan politik kekuasaan,” tegasnya.
Gerakan menjaga marwah NU ini bukan bertujuan mengkritik rais aam maupun ketum PBNU tapi kita sedang memainkan sebagai santri, sebagai jamaah dan sebagai orang yang ikut memiliki NU, bahwa bukan ini lho yang diinginkan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari ketika mendirikan NU.
“Tentu para orang tua kita itu sudah paham. Tapi mereka itu bukan makshum dan selalu benar. Sebagai santri yang baik tentu ikut menjaga agar orang tua kita tidak melakukan kesalahan,” dalih Nadirsyah.
Menurutnya, publik juga sudah mafhum jika di NU itu ada tiga bagian. Pertama, yang disebut jamiyah atau struktural NU. Kedua, yang namanya jamaah atau kultural NU. Dan ketiga, orang yang tradisinya menjalankan ajaran NU namun tidak menjadi bagian dari jamiyah dan jamaah NU.
“Spektrum yang luas dimiliki NU itu harusnya bisa ikut menjaga khittoh NU 1926. Semuanya itu harus dirangkul dan menjadi perekat bangsa. Tapi kalau jamiyah bersikap seperti itu, terus jamaah siapa yang ngurusi,” sindir Gus Nadir.
Ditambahkan, jika ada rumor ingin menggadaikan marwah NU untuk ditukar dengan politik kekuasaan, bagi Gus Nadir itu adalah sebuah kerugian besar bagi NU dan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, mumpung masih ada waktu, pihaknya memohon agar rais aam yang mengayomi NU supaya tidak terpancing atau hanya mendapatkan informasi informasi secara sepihak yang kemudian beliau memutuskan PBNU mohon mendukung paslon tertentu.
“Seorang shohibul maqom tiba tiba memohon agar struktural NU sam’an wathoatan. Rasanya rasanya itu bukan tradisi kita. Apalagi tidak dijelaskan landasan fiqhnya. Ini pertanyaan pertanyaan yang harus dijawab PBNU sebelum memutuskan mendukung paslon tertentu,” tegas Prof Nadirsyah.
Menurut Gus Nadir, tugas NU membimbing umat yang ada dimana mana adalah bagaimana supaya yang menang tidak jumawa dan yang kalah tidak merasa dilangkahi. Sedangkan tugas kebangsaan NU adalah merawat kebhinekaan.
Peran PBNU seperti itu, kata Gus Nadir masih diperankan di era kepemimpinan KH Hasyim Muzadi maupun KH Said Agil Siraj karena mereka punya preferensi pilihan pribadi namun tidak sampai menggerakkan struktural NU secara masif dan memilih paslon tertentu.
Ijtihad politik itu kalau salah itu tetap dihitung satu pahala dan jika benar mendapat dua pahala. Tapi jika hal ini dilakukan PBNU maka dampaknya akan luar biasa. Apalagi di era digital seperti sekarang perbedaan pendapat pilihan politik itu sangat kejam di medsos.
“Saya tak bisa membayangkan, ketika rais aam dicaci maki oleh pihak tim sukses paslon lain. Saya juga tak bisa membayangkan lukanya kami para santri kalau para kiai sepuh kami baik rais aam atau rais syuriah yang mengikuti intruksi tadi itu akhirnya dibentur benturkan satu sama lain. Ya mohon pikir panjang lagi lah, yang mana lebih mashlahat untuk kedepannya,” pinta Prof Nadirsyah Hosen..
Ia juga meminta PBNU mengoreksi kebijakannya. Sedangkan untuk PW dan PC yang mendapat intruksi atau dawuh seperti itu, kata Gus Nadir kebijakan itu bukan keputusan resmi organisasi karena tidak ada pernyataan tertulis SK, kop surat dan tandatangan meskipun itu dinyatakan secara lisan, maka sebaiknya diam saja karena sikap itu bukan dianggar melanggar keputusan organisasi.
“Secara organisatoris kalau mereka diam tidak melakukan perintah, mereka tidak melanggar keputusan organisasi karena tidak ada SK tertulis yang pakai kop surat dan stempel basah dan segala macamnya. Diam saja tidak melanggar apalagi mereka bersuara dengan mengajukan itu tadi menjaga marwah NU dan menjaga khittoh 1926,” beber pria kelahiran Jakarta 1973 ini.
Keresahan akibat kebijakan PBNU ini, lanjut Gus Nadir nyata adanya. Namun pihaknya sempat menemui beberapa kiai sepuh menyatakan bahwa di NU itu keputusan tidak semata mata ada di organisasi. Antara jamiyah dan jamaah NU itu memang selalu beririsan. Namun belum tentu keputusan jamiyah itu diikuti oleh jamaah.
“Banyak sekali keputusan jamiyah yang tidak ditaati jamaah karena jamaah lebih memilih mengikuti keputusan kiai lokal. Itulah keunikan di NU, garis komandonya itu tidak seperti di militer atau organisasi modern. Maka para kiai sepuh juga saya tekankan supaya mereka lebih mengutamakan keutuhan bangsa karena itu yang lebih baik,” jelasnya.
Sejumlah gus gus yang sempat ditemui, lanjut Gus Nadir juga memiliki pandangan yang sama terhadap kebijakan PBNU ini. Namun mereka menjaga etika dan adab sehingga enggan bersuara.
“Kepentingan bangsa juga prioritas. Jangan atas kepentingan adab, kita tidak mau bersikap maka kemudian kita mendiamkan kemudharratan yang terjadi. Dan ini menurut saya juga tidak beradab tapi ya biadap,” tegas pria murah senyum ini.
Prof Nadir mengakui PBNU punya argumentasi, data maupun preferensi untuk memutuskan mendukung paslon tertentu. Namun data bisa diadu dengan data, preferensi bisa dibahas dengan preferensi yang lain. Tapi kepentingan bangsa, kita sepakat semua. Makanya PBNU mudah mudahan bisa melihat lebih jauh kepentingan bangsa. (tis)