Home PEMERINTAHANGus Iwan Nilai Sound Horeg Lebih Banyak Madhorot Dibanding Maslahatnya

Gus Iwan Nilai Sound Horeg Lebih Banyak Madhorot Dibanding Maslahatnya

by sabda news

SabdaNews.com  – Munculnya fatwa MUI Jawa Timur yang menyatakan melarang (mengharamkan) penggunaan sound horeg. Nampaknya masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat akibat belum adanya regulasi dari pemerintah untuk memperkuat fatwa tersebut, sehingga bisa menjadi hukum positif yang berlaku di masyarakat.

Anggota Komisi A DPRD Jatim Ahmad Iwan Zunaih mengakui keberadaan sound horeg jika dilihat dari sisi hukum, pihaknya kurang tepat (berkompeten) untuk menilai karena sudah ada MUI yang memberikan fatwa melarang (haram), maupun sikap PBNU yang membahas persoalan itu melalui Babul Masail menyatakan sebaliknya atau tidak melarang.

“Kalau masalah hukum sound horeg, biarlah mereka yang memiliki kapasitas untuk memastikan hukum yang berbicara. Kalau saya secara umum saja,” ujar Gus Iwan sapaan akrabnya saat dikonfirmasi Kamis (17/7/2025).

Menurut politikus Partai NasDem, sebagian besar warga masyarakat menilai penggunaan sound horeg itu identik dengan sesuatu yang bersifat hura-hura (senang-senang). Muncul stigma negatif di masyarakat seperti itu perlu dievaluasi bersama-sama.

“Secara pribadi, saya melihatnya justru malah lebih banyak madhorotnya daripada maslahatnya,” tegas menantu KH Abdul Ghofur pengasuh Ponpes Sunan Drajat Paciran Lamongan.

Diantara madhorot penggunaan sound horeg, menurut pandangan Gus Iwan yaitu bisa menggangu kenyamanan atau membuat kebisingan warga sekitar akibat suara yang melebihi ambang batas dalam durasi cukup lama. Ironisnya, jika kegiatan mubadzir itu digandrungi masyarakat lalu menjadi kebiasaan, tentu madhorotnya bisa menjalar dari sisi kesehatan masyarakat.

“Selain kemubadziran, banyak juga madhorotnya dari sisi kesehatan. Mengingat, manusia diciptakan Allah itu memiliki keterbatasan. Sound horeg itu sesuatu yang tidak normal sehingga manusia normal pasti akan terganggu, karena suara sound horeg bisa memecahkan kendang telinga atau bahkan jantung tidak kuat sehingga bisa membahayakan nyawa seseorang,” jelasnya.

Disamping berdampak pada fisik manusia, lanjut politikus asli Dukun Gresik, penggunaan sound horeg juga kerap menimbulkan keribuatan seperti tawuran antar warga, merusak bangunan baik kaca pecah maupun genting (atap) jatuh berguguran yang bisa mengenai penghuni rumah dan lain sebagainya.

“Menurut saya memang diperlukan sebuah regulasi yang pasti dari pemerintah, bagaimana kita menyikapi budaya sound horeg dengan kajian kemanfaatan dan kemudhorotan lebih besar mana,” ujar Gus Iwan.

Sebagaimana diketahui bersama, MUI Jawa Timur telah resmi mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan sound horeg. Namun, fatwa haram itu berlaku dengan catatan yakni bila digunakan secara berlebihan dan melanggar norma syariat serta mengganggu ketertiban umum.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim Sholihin Hasan menjelaskan, bahwa sound horeg adalah sistem audio dengan potensi volume tinggi, terutama pada frekuensi rendah atau bass. Istilah ‘horeg’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘bergetar’.

“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar sehingga dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan, dan atau merusak fasilitas umum atau barang milik orang lain, memutar musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat dan kemunkaran lain, baik dilokalisir pada tempat tertentu maupun dibawa berkeliling pemukiman warga, hukumnya haram,” tegas Sholihin, Senin. (14/7) lalu.

Keputusan MUI Jatim itu diambil setelah mendapatkan surat permohonan fatwa dari masyarakat perihal fenomena sound horeg di Jatim. Dalam prosesnya, MUI Jatim memandang penggunaan teknologi audio bisa bernilai positif jika digunakan secara tepat dan tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Namun, apabila berpotensi merusak dan melanggar hak orang lain, maka itu tidak dapat dibenarkan.

Dalam pertimbangannya, MUI Jatim menyebut sound horeg bisa mencapai 120-135 desibel (dB) atau lebih. Padahal, ambang batas yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) adalah 85 desibel (dB) untuk paparan selama 8 jam.

“Battle sound atau adu sound yang dipastikan menimbulkan mudarat, yaitu kebisingan melebihi ambang batas dan berpotensi tabdzir serta idha’atul mal atau menyia-nyiakan harta hukumnya haram secara mutlak,” tambah Sholihin.

MUI Jatim juga memberikan sejumlah rekomendasi. Diantaranya, meminta kepada penyedia jasa dan pihak-pihak yang terlibat dalam penggunaan sound horeg agar menjaga hak orang lain, ketertiban umum, serta norma agama.

Mendorong pemerintah daerah di Jatim untuk segera menyusun regulasi terkait penggunaan alat pengeras suara, termasuk perizinan dan sanksi. Mereka juga meminta Kementerian Hukum dan HAM RI tidak memberikan legalitas terhadap sound horeg sebelum ada penyesuaian aturan.

“Meminta kepada Pemprov Jatim untuk menginstruksikan kepada Pemkot/Pemkab di Jatim agar segera membuat aturan sesuai kewenangannya tentang penggunaan alat pengeras suara mulai dari perizinan, standar penggunaan, dan sanksi dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek, termasuk norma agama,” jelas Sholihin.

“Meminta kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk tidak mengeluarkan legalitas berkaitan dengan sound horeg, termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebelum ada komitmen perbaikan dan penyesuaian sesuai aturan yang berlaku,” tambahnya.

Ia juga mengimbau masyarakat untuk bisa memilah dan memilih hiburan yang positif, tidak membahayakan bagi dirinya, serta saling memahami, menghormati hak asasi orang lain dan tidak melanggar norma agama maupun aturan negara.

“Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari diperlukan perbaikan, maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau kepada semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini,” pungkas Sholihin. (pun).

You may also like

Leave a Comment