SabdaNews.com – Rencana pemerintah memberlakukan perubahan prosentase bagi hasil Pajak dan Retribusi Daerah khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada tahun 2025 mendatang, membuat pemerintah provinsi berpikir keras dan menyiapkan opsi alternatif untuk memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam memperkuat APBD Provinsi termasuk di Provinsi Jawa Timur.
Sebagaimana diketahui bersama, sumbangsih PKB dan derivasinya sangat besar dalam postur PAD Provinsi. Hal inilah yang menginisiasi Pokja Wartawan Indrapura menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema,
“Optimalisasi Peran BUMD Dalam Mendukung PAD Jawa Timur” di Resto Makan Time Surabaya, Selasa (27/12/2022)
Ketua Pokja Wartawan Indrapura Riku Abdiono dalam sambutannya mengatakan bahwa pihaknya kerap berdiskusi dengan teman-teman jurnalis dan kerap memunculkan ide-ide briliant terkait berbagai persoalan yang dihadapi Provinsi Jatim termasuk bagaimana mengoptimalisasikan peran BUMD-BUMD Jatim dalam memberikan sumbangsih terhadap PAD Jatim
Sayangnya, kata Riku, ide-ide out off the box itu sulit dipublikasikan lantaran opini jurnalis tidak bisa dijadikan sebagai berita. Hal inilah yang mendorong Pokja Indrapura menggelar FGD dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten, sehingga hasil FGD nantinya bisa menjadi masukan kepada DPRD dan Gubernur Jatim.
“FGD ini bagian dari upaya sumbangsih jurnalis terhadap upaya percepatan pemulihan ekonomi yang dilakukan Pemprov Jatim dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jatim,” terang Riko Abdiono.
Sementara itu, Dirut PT PWU (Panca Wira Usaha) Jatim, Erlangga Satriagung selaku narasumber dalam paparannya mengatakan bahwa BUMD adalah jenis usaha yang berbeda dengan usaha private. Sebab BUMD tergolong jenis usaha tanpa kelamin yang jelas namun dituntut untuk profesional disertai dengan berbagai pembatasan melalui berbagai peraturan yang birokratis.
“Kalau berharap BUMD bisa seperti usaha private maka berbagai peraturan yang menjadi penghalang BUMD bisa maju harus direview atau direvisi,” kata Erlangga Satriagung.
Diantara aturan penghambat BUMD bisa maju, kata Erlangga adalah Peraturan Pemerintah (PP) No.54 Tahun 2017 Tentang BUMD, khususnya pada Pasal 94 ayat (4) yang menyatakan, dalam hal kerjasama berupa pendayagunaan aset yang dimiliki BUMD. Kerjasama yang dimaksud dilakukan melalui Kerjasama Operasi (KSO).
Selain itu dalam Pasal 95 ayat (2) PP No.54 Tahun 2017 menyatakan bahwa dalam hal pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempersyaratkan jaminan aset BUMD yang berasal dari hasil usaha BUMD dapat dijadikan jaminan untuk mendapatkan jaminan.
Ironisnya, dalam aturan Perda No.8 tahun 2019 tentang BUMD khususnya pada Pasal 9 ayat (1) justru menyatakan, penyertaan modal pemerintah provinsi untuk pendirian BUMD yang berupa barang milik daerah yang berbentuk tanah dan/atau bangunan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain.
“Ini ibarat orang yang kepalanya dilepas tapi kakinya masih dirantai sehingga tidak bisa bergerak leluasa. Makanya kami mengusulkan kepada Gubernur Jatim untuk mendorong Kemendagri melakukan review terkait PP No.5 Tahun 2017 khususnya Pasal 94 ayat (4) dan Pasal 95 ayat (1). Dan mengusulkan melakukan review terkait Perda No.8 tahun 2019 tentang BUMD khususnya Pasal 9 ayat (1) yang semula menyatakan aset tidak boleh dipindahtangankan berubah menjadi aset dapat dipindahtangankan dengan persyaratan tertentu,” harap Erlangga Satriagung.
Selain persoalan aturan, kebutuhan permodalan juga sering menjadi hambatan BUMD untuk maju karena keterbatasan kemampuan keuangan yang dimiliki pemerintah daerah. Oleh karena itu Erlangga menyarankan supaya saham BUMD Jatim sebagian bisa dilepas kepada pihak yang berminat dengan tetap mempertahankan provinsi sebagai pemegang saham pengendali (55%) sehingga bisa menghindai resiko delusi saham.
“Saham di anak perusahaan BUMD Jatim juga bisa dilepas sebagian kepada yang berminat dengan tetap mempertahankan saham pengendali untuk menghindari resiko delusi saham, meskipun saham BUMD di anak perusahaan kurang dari 70 % akan mengalihkan status dari anak perusahaan menjadi saham penyertaan,” jelas pria yang juga ketua KONI Jatim ini.
Ia menegaskan sekarang ini sudah bukan jamannya bahkan tidak ada pengusaha yang sukses dengan memiliki 99% saham sebuah perusahaan. Sebab yang kebanyakan itu kepemilihan saham tidak lebih dari separoh. “Prinsip yang berlaku di dunia usaha sekarang adalah bukan berbagi keuntungan tapi berbagi resiko melalui berbagi saham,” ungkap Erlangga.
Kendati berbagai hambatan BUMD itu terselesaikan, lanjut Erlangga bukan berarti secara otomatis BUMD bisa melesat maju. Pasalnya, kunci utamanya itu terletak pada good will kepala daerah (Gubernur) mau memposisikan BUMD seperti apa?
“Kalau BUMD dijadikan sebagai kontributor penting PAD maka ada konsekuensi yang harus dipenuhi pemerintah daerah. Prasyaratnya, perusahaan harus dibikin sehat terlebih dulu dengan tahapan berbeda antar BUMD. Lalu ada penambahan modal usaha. Sebaliknya jika BUMD tidak dianggap penting maka BUMD akan seperti ini selamanya,” dalih Erlangga.
Senada, narasumber FGD lainnya pengamat ekonomi dari Unair Surabaya, Gigih Prihantono, SE, MSE mengatakan bahwa pemerintah daerah memiliki empat kelembagaan dalam memberikan pelayanan dan pola pendanaan, yaitu melalui OPD (SKPD), BLUD, BUMD dan Swasta.
Menyangkut peningkatan pendapatan atau penerimaan daerah, kata Gigih, ada 4 strategi yang bisa dilakukan pemerintah daerah yaitu melalui optimalisasi / intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah, optimalisasi kekayaan daerah yag dipisahkan melalui penyertaan modal / investasi kepada BUMD, optimalisasi pendapatan daerah melalui pinjaman dan penerbitan obligasi, serta optimalisasi pemanfaatan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan (iddle asset) melalui kerjasama dengan pihak ketiga.
Berdasarkan data, lanjut Gigih dari sebanyak 1097 BUMD se Indonesia meliputi 205 BUMD milik provinsi dan 892 BUMD milik kabupaten/kota, yang memiliki kinerjanya kurang baik ada sebanyak 649 BUMD (59%) dan yang kinerjanya baik sebanyak 448 BUMD (41%).
“BUMD Provinsi 63% (138) kinerjanya baik dan 33% (67) kinerjanya kurang baik. Sedangkan BUMD kab/kota yang memiliki kinerja baik sebanyak 35% (310) dan kurang baik sebanyak 65% (582). Jadi BUMD Provinsi relatif kinerjanya lebih baik,” bebernya.
Diakui Gigih peran BUMD Jatim sebagaimana amanat Perda No.14 Tahun 2012 ada dua yaitu menjadi agen pembangunan dan pencipta nilai bagi perekonomian daerah. “Namun ada 3 isu utama BUMD yaitu inefisiensi usaha, inefisiensi birokrasi dan underutilized asset. Ketiganya itu populer dengan istilah tata kelola perusahaan, sehingga peran BUMD belum bisa maksimal,” jelasnya.
Sementara kinerja BUMD Jatim ditinjau dari kontribusi PAD Jatim, lanjut Gigih rata-rata untuk setoran PAD dikisaran angka 3,38%. Pertumbuhan ekonomi di angka 5,51%, Omset 11,69% dan laba di angka 12,42%. “Multiplayer effect BUMD Jatim daRi tahun ke tahun juga grafiknya naik,” bebernya.
Ia bahkan memberikan gambaran jika Pemprov Jatim menambah setoran modal sebesar 50 miliar ke masing-masing BUMD Jatim maka deviden pay out ratio dari 3,2% bisa naik menjadi 7,7%. Lalu Cost of Operation dari 4,17 kali sebelum penambahan modal bisa turun menjadi 2,01 kali.
Kemudian multipler effect BUMD dari 822 miliar bisa naik menjadi 1,24 triliun setelah adanya penambahan modal. Working capital to total aset ratio dari 17,92% akan naik menjadi 37,4% dan jumlah UMKM yang terlayani dari 49.648 menjadi 60.000 UMKM.
“Sayangnya, belanja modal dan penyertaan modal Pemprov Jatim masih rendah sehingga kinerja BUMD Jatim juga sulit untuk melesat maju,” terang pria yang juga pernah menjadi konsultan Bank Jabar ini.
Ia juga memberikan beberapa rekomendasi kebijakan untuk kemajuan BUMD Jatim. Pertama, mendorong sinergitas kerjasama operasi antar BUMD Jatim. Kedua, untuk BUMD yang sehat secara keuangan, operasional dan bisnis bisa dipertimbangkan untuk penambahan modal dari Pemprov maupun ditawarkan ke Pemkab/Pemkot atau masyarakat.
“Ketiga, perlu adanya repositioning BUMD bisa melalui pembentukan holding company maupun merger BUMD untuk meningkatkan efisiensi dan skala usaha,” terang Gigih Prihantono.
Narasumber lainnya, Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim menegaskan bahwa potensi yang dimiliki BUMD Jatim untuk berkembang dan maju sangat besar. Namun masih ada kendala terutama dari peraturan BUMD baik berupa PP maupun Perda sehingga BUMD tidak bisa leluasa dalam mengembangkan usahanya.
Diakui Lutfil, sinergi dan kolaborasi antar BUMD Jatim juga belum bisa maksimal khususnya menyangkut permodalan. Bahkan pihaknya juga tahu kalau ada sejumlah BUMD Jatim yang hutang ke pinjol karena terpaksa itu yang menjadi solusi terakhir.
“Makanya manajemen BUMD dituntut untuk kreatif dan inovatif. Selain itu persoalan BUMD ini solusinya juga bergantung pada pilihan politik kepala daerah untuk mau apa tidak meminimalisir penghalang BUMD untuk bisa maju,” katanya.
Ia juga sangat mendukung penyelenggarakan FGD yang dilakukan Pokja Indrapura ini. Mengingat, jurnalis juga perlu menjalankan fungsi kontrol sosial sesuai amanat Pasal 3 UU Pers dan pemerintah daerah juga membutuhkan kritik dan masukan supaya roda pemerintahan menjadi lebih baik sesuai harapan masyarakat.
“Kajian seperti ini penting supaya bisa menambah kapasitas wartawan dan bisa mencerdaskan kehidupan bangsa serta berita yang dibuat menjadi lebih presisi,” pungkas Cak Item sapaan akrab Lutfil Hakim. (tis)