SabdaNews.com – Sebagai bentuk apresiasi terhadap para pengawas adhoc pada pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 14 Februari 2024 lalu. Bawaslu Jatim membuat buku berjudul SDM Pengawas Adhoc Sekali Berarti Sesudah Itu Abadi yang dilaunching sekaligus bedah buku di Whiz Luxe Hotel Spazio Surabaya, Kamis (19/12/2024).
Buku dengan tebal 159 halaman itu dibedah oleh dua orang narasumber, yakni Oryza Wirawan penulis dan jurnalis senior asal Jember dan M. Afifuddin dosen Universitas Trunojoyo Madura. Turut pula memberikan kesaksian lika liku pembuatan buku keenam Bawaslu Jatim, Lailatul Munawaroh salah satu penulis buku ini. Turut pula hadir puluhan mahasiswa dari berbagai kampus di Surabaya.mi
Devisi SDM Bawaslu Jatim Nur Elya Anggraini dalam sambutan mengatakan bahwa buku ini sengaja ditulis sebagai bentuk apresiasi Bawaslu Jatim terhadap pengawas adhoc mulai dari para pengawas TPS, Pengawas Kelurahan/Desa, dan Panwascam yang telah bekerja keras untuk mensukseskan penyelenggaran Pemilu Serentak (Pilpres dan Pileg) pada 14 Februari 2024.
“Buku ini secara garis besar menceritakan tentang perjalanan rekrutmen pengawas Adhoc hingga di tingkatan terbawah (TPS). Kemudian melakukan pengawasan, pencegahan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa yang terjadi selama penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu,” ujar Elya sapaan akrabnya.
Sementara itu Lailatul Munawaroh salah satu penulis mengaku terkesan dan takjub dengan pengawas adhoc khususnya dari kalangan perempuan. Mengingat, tugas menjadi pengawas pemilu itu tidak gampang setelah melihat langsung praktek di lapangan saat hari H pemungutan suara.
“Makanya perempuan yang menjadi pengawas adhoc jumlahnya sedikit. Kalau tantangan dalam penulis buku itu kita harus mengkompres atau meringkas karena dibatasi tiga ribu kata saja,” kelakar perempuan murah senyum ini.
Masih di tempat yang sama, M Afifuddin akademisi asal UTM mengatakan bahwa keberadaan Bawaslu dalam penyelenggaraan pesta demokrasi itu tergolong unik. Sebab di belahan dunia yang menganut sistem demokrasi hanya ada tiga negara yang memiliki lembaga pengawas seperti Bawslu, yakni Indonesia, Zimbapua dan Meuritania.
“Kata Prof Ramlan Surbakti, yang masih eksis tinggal Indonesia karena di Zimbapua sejak tahun 2020 lembaga tersebut sudah ditiadakan. Dengan adanya buku ini, nantinya bisa menjadi bukti sejarah bahwa Bawaslu menjadi lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia yang keberadaannya cukup vital,” kata Afif.
Dari tipe pengawasan, lanjut Afif, kewenangan yang dimiliki Bawaslu cenderung mengadopsi model electoral supervisor, sehingga rekomendasi Bawaslu terhadap pelanggaran pemilu banyak yang ditindaklanjuti hingga adanya putusan penghitungan ulang maupun pemungutan suara ulang.
Senada, Oryza Wirawan narasumber lainnya mengaku mengapresiasi buku karya Bawaslu Jatim. Mengingat, di tengah kesibukan melakukan pendidikan politik ke masyarakat, Bawaslu Jatim masih menyempatkan kerja intelektual dengan membikin buku hingga enam buah buku.
“Agar ada feedback dari publik, saya sarankan perbanyak roadshow ke kampus kampus agar kinerja Bawaslu Jatim ke depan semakin baik,” kata alumnus Unej Jember ini.
Terkait keberadaan pengawas adhoc pemilu, kata Oryza itu muncul akibat minimnya kepercayaan (trust) publik terhadap praktek demokrasi dan kebijakan politik di Indonesia yang ambigu sehingga lembaga ini perlu dibentuk walaupun dari sisi efisiensi itu jelas pemborosan anggaran.
“Makanya tugas Bawaslu ke depan perlu diperluas yakni ikut mengawasi proses Pilkades yang menjadi hulu praktek demokrasi di negeri ini menjadi baik atau buruk. Semua pelanggaran dan kecurangan pemilu itu berawal dari praktek Pilkades yang luput dari pengawasan pemerintah,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi buku karya Bawaslu Jatim yang tidak memasukkan Bab evaluasi internal, khususnya menyangkut proses penindakan terhadap pengawas adhoc yang melakukan pelanggaran. Mengingat, publik juga banyak menyoroti netralitas pengawas adhoc patut dipertanyakan karena cenderung memihak salah satu paslon, sehingga kerap membuat kegaduhan Pilkada.
“Apalagi di pemerintah pusat mulai DPR hingga Presiden sudah mewacanakan Pilkada Langsung perlu dievaluasi karena cenderung pemborosan anggaran sehingga sebaiknya kembali ke sistem bupati/walikota dan gubernur dipilih oleh anggota DPRD. Kalau wacana tersebut disetujui tentu status Bawaslu akan menjadi pengawas adhoc bukan lima tahun lagi masa tugasnya seperti sekarang,” pungkas Oryza. (pun)