Oleh Moch Eksan
SabdaNews.com – Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 8-13 April 2023, ada 2 kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang masuk radar. Meskipun tingkat elektabilitasnya masih relatif kecil. A Muhaimin Iskandar 0,5 persen. Kemudian disusul oleh Khofifah Indar parawansa 0,4 persen.
Dengan tingkat elektabilitas seperti itu, target calon wakil presiden lebih realistis. Posisi calon presiden masih seputar tiga nama besar, Prabowo Subianto 22,2 persen, Ganjar Pranowo 19,8 persen. Dan Anies Rasyid Baswedan 15,9 persen. Mereka berlatarbelakang militer, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Padahal, posisi Cak Imin atau Bu Khofifah tak kalah mentereng dengan tiga nama besar capres tersebut. Cak Imin adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) seperti Pak Prabowo Ketua Umum Partai Gerindra, sama-sama ketua umum partai politik yang punya kursi di parlemen.
Sedangkan, Bu Khofifah adalah Gubernur Jawa Timur seperti Ganjar Gubenur Jawa Tengah dan Anies Rasyid Baswedan mantan Gubernur DKI Jakarta, yang sama-sama penguasa daerah di Pulau Jawa sebagai kantong suara pemilu, baik pilpres maupun pileg.
Namun mengapa elektabilitas dua kader NU tulen ini masih rendah? Ini soal persepsi publik terhadap Cak Imin dan Bu Khofifah sebagai pemimpin nasional masih berada pada nomor urut sepatu bukan nomor urut kopiah dalam top mind masyarakat. Meski begitu, 2 figur asal Jawa Timur ini merupakan penentu dalam mengusung dan memenangkan calon presiden.
Siapapun capresnya membutuhkan insentif elektoral dari Cak Imin atau Bu Khofifah. Adapun 2 kader PMII UGM Yogyakarta dan PMII UNAIR Surabaya ini identik dengan basis massa Nahdliyin di Jawa Timur yang menjadi lumbung suara NU.
Sementara, ada 2 nama lain yang bukan berasal dari PMII, juga dibaca sebagai representasi NU. Yakni Mahfud MD elektabilitasnya 2,1 persen dan Erick Thohir elektabilitas 2 persen yang juga dicap NU layaknya Cak Imin dan Bu Khofifah.
Publik mempersepsikan, semua nama di atas layak sebagai Cawapres untuk digandeng oleh Capres yang ada. Capres potensial yang beredar di tengah masyarakat, sama-sama mengincar figur-figur tersebut.
Kubu Prabowo cenderung kepada Cak Imin sebagai pendamping. Sedangkan kubu Ganjar cenderung kepada Erick Thohir sebagai cawapres. Dan, kubu Anies cenderung kepada Bu Khofifah sebagai cawapres.
Dengan konfigurasi pasangan calon di atas, sesungguhnya secara natural NU telah menjadi pemenang Pilpres 2024. Sebab, all vice president NU people (semua wakil presiden orang NU).
Ini berkah politik khittah KH Yahya Cholil Staquf, NU tidak kemana-mana, namun ada dimana-mana.
NU dalam posisi nomor 2 di republik ini sudah menjadi langganan setiap suksesi kepemimpinan nasional semenjak wakil Presiden Hamzah Haz pada era Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004).
Dilanjutkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), dan era Presiden Joko Widodo (2014-2019). Dan, Wakil Presiden Ma’ruf Amien pada era Presiden Jokowi (2019-2024).
Jadi, dominasi wapres dari NU sudah berlangsung dua dasawarsa. Ini seperti iklan Teh, apapun makanannya, yang penting Teh Sosro minumannya. Siapapun presidennya, yang penting orang NU wakilnya.
Pesan iklan ini kelihatan akan berulang kembali dalam suksesi kepemimpinan nasional pasca Jokowi. Tinggal, orkestrasi politik jelang pemilu tetap bertahan dan tak lepas dari kecenderungan sejarah yang lazim berlaku selama ini.
Wakil Presiden adalah posisi yang bagus untuk menjalankan fiqhus siyasah dari Imam Mawardi dalam kitab Ahkamussulthoniah. Bahwa kepemimpinan itu dibentuk dengan tujuan untuk hirasatiddin (menjaga agama) dan wasiyasatiddunya (mengatur dunia).
Moh Kusnardi dalam buku Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, menyebutkan tugas wakil presiden sebagai berikut:
(1). Membantu presiden dalam melakukan kewajibannya.
(2). Menggantikan presiden sampai habis waktunya jika presiden meninggal dunia, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan yang telah ditentukan.
(3). Memperhatikan secara khusus, menampung masalah yang perlu penanganan menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat.
(4). Melakukan pengawasan operasional pembangunan, dengan bantuan departemen, lembaga non departemen, dalam hal ini inspektur jenderal dari departemen yang bersangkutan atau depti pengawasan dari lembaga non departemen yang bersangkutan.
Sedangkan, wewenangan wakil presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945, adalah sebagai berikut:
(1). Menjadi wakil presiden. Wewenang wakil presiden yakni menggantikan atau mewakili presiden saat melaksanakan tugas dan kewajiban serta wewenang jabatan presiden namun sebelumnya telah mendapatkan perintah atau diberi kuasa oleh presiden.
(2). Membantu presiden. Wakil presiden berwenang untuk membantu presiden di dalam tugas yang sudah tercantum di undang-undang.
(3). Pengganti presiden. Wakil presiden tidak lagi disebut wakil presiden melainkan menjadi presiden dan tidak terjadi rangkap jabatan dengan alasan yang sudah diatur.
(4). Jabatan yang mandiri. Jika wakil presiden diminta oleh perorangan maupun organisasi sebagai pembicara atau sekedar tamu, dalam hal ini wakil presiden melakukan suatu kegiatan secara mandiri dan tidak memerlukan perintah maupun persetujuan dari presiden.
Dari uraian tugas dan wewenang wakil presiden di atas, sangat jelas posisi ini diperebutkan oleh partai dan kelompok kepentingan. Wapres NU yang telah menjadi simbol negara merupakan wakil kepala negara dan wakil kepala pemerintahan di republik ini.
Momentum pergantian kepemimpinan nasional 2024, harus disikapi dengan cerdas dan cerdik demi kemaslahatan umum. Siapapun yang terpilih menjadi presiden, entah Prabowo, Ganjar atau Anies. Wapres jangan lepas dari NU. Politik jaring laba-laba telah terbukti dan teruji.
Allah SWT telah mengingatkan dalam QS Yusuf:67, “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain”.
Walhasil, Cak Imin, Erick dan Bu Khofifah adalah pintu masuk warga nahdhiyyin untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketiganya tak perlu mengklaim paling NU. Semua kader NU yang diproyeksikan menjadi pemimpin nasional dalam peningkatkan khidmah NU bagi Indonesia demi peradaban dunia yang aman dan damai. (tis)