Oleh: Saiful Bahri
SabdaNews.com- Aksi penolakan eksplorasi migas di Kangean yang semula digadang-gadang sebagai bentuk perjuangan rakyat, kini justru berubah arah dan kehilangan makna. Tindakan anarkis yang dilakukan sejumlah oknum dalam aksi itu — bahkan sampai pada dugaan perampasan aset milik PT KEI — menjadi noda yang mencoreng wajah perjuangan rakyat sendiri. Pertanyaannya, apakah ini murni bentuk perlawanan, atau justru jebakan Batman yang menjerumuskan para peserta aksi ke ranah hukum dan pidana?
Dari Aksi Konstitusional ke Kekeliruan Fatal
Pada awalnya, masyarakat berhak menyampaikan aspirasi. Itu dijamin oleh konstitusi. Namun, ketika aksi berubah menjadi tindakan destruktif, perampasan alat kerja, serta intimidasi terhadap sesama warga, maka nilai perjuangan itu hilang seketika. Yang tersisa hanyalah emosi dan provokasi.
Menurut laporan di lapangan, aksi yang terjadi pada 6–7 Oktober 2025 di wilayah Mamburet, Angkatan, dan Bilis-bilis bukan lagi sekadar unjuk rasa damai. Sejumlah peralatan kerja PT KEI yang bernilai tinggi dikabarkan dirampas, dan itu jelas bukan langkah bijak. Sebab, perbuatan semacam itu bukan hanya melanggar etika, tetapi juga membuka pintu pemidanaan.
Aksi yang Tergelincir
Banyak pihak menilai, kelompok penolak migas kini telah tergelincir ke dalam permainan yang lebih besar. Ada kepentingan yang menunggangi. Ada pihak yang bersembunyi di balik slogan “suara rakyat”, padahal sesungguhnya sedang memainkan narasi untuk kepentingan pribadi atau politik tertentu.
Ironisnya, warga kecil di lapangan justru menjadi korban — mereka dijanjikan imbalan, diseret ke dalam pusaran konflik, dan akhirnya ditinggalkan tanpa kepastian. Seperti kisah 21 pemilik perahu yang dijanjikan bayaran Rp2,5 juta namun tak kunjung dibayar, semua itu menggambarkan bahwa ada manipulasi di balik layar.
Belajar dari Kekeliruan
Masyarakat Kangean harus belajar dari kejadian ini. Jangan mudah terprovokasi oleh isu yang belum tentu benar. Jangan pula menyerahkan suara rakyat kepada mereka yang hanya pandai berbicara di atas penderitaan orang lain. Perjuangan sejati adalah menjaga tanah dan laut tetap damai, bukan dengan merusaknya. Menyuarakan aspirasi adalah hak, tetapi tetap harus dalam koridor hukum dan moralitas.
Sebab sekali rakyat terseret ke dalam jebakan, keluar darinya tidak semudah melompat dari perahu — apalagi jika jerat hukum sudah menanti. Dan di situlah makna sejati dari “jebakan Batman” itu sendiri: ketika niat baik dikaburkan oleh kepentingan yang gelap. (Penulis adalah Warga Kangean/Red)