Home HomeKenaikan Gaji DPR, “Sebuah Egosentrisme yang Menginjak Rasa Keadilan Rakyat”

Kenaikan Gaji DPR, “Sebuah Egosentrisme yang Menginjak Rasa Keadilan Rakyat”

by sabda news
Oleh :  Mas’ud Hakim, M.Si., M.H.   
SabdaNews,com-Baru-baru ini, publik Indonesia kembali dikejutkan oleh wacana yang, jujur saja, sudah seperti rekaman lama yang diputar berulang :   kenaikan tunjangan dan fasilitas untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam situasi dimana ekonomi nasional masih berjuang, daya beli masyarakat tertekan, dan anggaran untuk sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan seringkali dipangkas, wacana ini bukan hanya tidak masuk akal, tetapi merupakan tamparan keras bagi rasa keadilan rakyat.  Alasan yang kerap dihembuskan pun selalu itu-itu saja : agar anggota DPR dapat bekerja dengan optimal, bebas dari korupsi, dan sejajar dengan gaji pejabat tinggi negara lainnya. Namun, alasan ini sangat rapuh dan tidak menyentuh akar persoalan.
Pertama, logika “gaji besar agar tidak korupsi” adalah fallacy yang berbahaya. Korupsi adalah penyakit moral dan sistemik, bukan semata-mata persoalan ekonomi. Banyak contoh pejabat dengan gaji fantastis yang justru terlibat korupsi kolosal. Sebaliknya, banyak guru, dokter, dan perawat dengan gaji pas-pasan yang tetap menjalankan tugasnya dengan integritas tinggi. Memberikan gaji besar dengan harapan mencegah korupsi sama saja dengan menyuap, bukan membangun karakter. Pemberantasan korupsi harusnya melalui penguatan sistem pengawasan, transparansi, dan penegakan hukum yang tegas, bukan dengan memanjakan para wakil rakyat secara finansial.
Kedua, terjadi disconnect yang sangat lebar antara performa kerja dan imbalan yang diterima. Rakyat mempertanyakan, “Apa kontribusi nyata yang telah diberikan hingga pantas mendapat kenaikan sebesar itu ? apakah pembahasan RUU yang lamban dan seringkali tidak pro-rakyat ? apakah kehadiran rapat yang memprihatinkan ? atau konflik kepentingan yang kerap mewarnai proses legislasi ? rakyat tidak melihat produktivitas dan efektivitas yang sepadan dengan fasilitas super lengkap yang sudah mereka terima. Gaji pokok, tunjangan, uang pesangon, hingga fasilitas mewah seperti mobil dan rumah dinas sudah sangat layak. Menuntut lebih di tengah jeritan rakyat adalah bentuk egosentrisme yang akut.
Ketiga, ini adalah persoalan prioritas dan sensitivitas. Pemerintah dan DPR sendiri kerap menyatakan pentingnya penghematan anggaran (belt tightening) di tengah ketidakpastian global. Namun, penghematan itu seolah hanya berlaku untuk rakyat kecil, bukan untuk mereka yang duduk di kursi dewan. Dana triliunan rupiah yang akan dialokasikan untuk kenaikan ini bisa memiliki dampak yang jauh lebih besar dan manusiawi jika dialihkan untuk menambah anggaran bantuan sosial (bansos), memperbaiki fasilitas kesehatan di daerah terpencil, menaikkan honorarium guru honorer, atau memberikan insentif bagi UMKM yang masih terjepit. Memilih untuk menaikkan gaji dewan alih-alih mengoptimalkan anggaran untuk sektor-sektor ini menunjukkan salah urus prioritas yang fatal.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan ? 
1.  Transparansi Total. Seluruh komponen pendapatan, tunjangan, dan penggunaan fasilitas DPR harus diumumkan secara detail dan mudah diakses publik. Tidak ada lagi yang disembunyikan atas nama “keamanan” atau “kewajaran”.
2.  Kinerja sebagai Prasyarat.   Gaji dan tunjangan harus dikaitkan dengan Key Performance Indicators (KPI) yang jelas dan terukur, seperti kehadiran dalam rapat, jumlah RUU yang diusulkan dan diselesaikan, serta keterbukaan kepada              konstituen. Tidak ada kinerja, tidak ada kenaikan.
3.  Mendengarkan Suara Rakyat.   DPR harus membatalkan wacana ini dan melakukan konsultasi publik yang luas dan bermakna. Mendengar bukan untuk formalitas, tetapi benar-benar menyerap aspirasi dan penderitaan orang yang          diwakilinya.
4.  Memimpin dengan Contoh.   Di saat negara menghadapi tantangan berat, para wakil rakyat harus berada di garda terdepan menunjukkan semangat pengorbanan dan kesederhanaan, bukan justru menuntut hak-hak istimewa.
Kenaikan gaji DPR yang tidak masuk akal ini bukan sekadar persoalan angka, tetapi adalah ujian bagi karakter bangsa kita. Ini adalah pertarungan antara elitisme yang lepas dari realita dan semangat keadilan sosial yang menjadi fondasi negara ini. Sudah saatnya para wakil rakyat membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat, bukan justru menjajah rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang hanya mementingkan diri sendiri. Katakan tidak pada kenaikan gaji yang tidak masuk akal !! ( Penulis  :  Mas’ud Hakim, M.Si., M.H.  Pemerhati Kebijakan Publik*/Red)

You may also like

Leave a Comment