SabdaNews.com – Perpindahan peserta BPJS Kesehatan dari satu fasilitas kesehatan (faskes) primer Puskemas ke klinik tidak memerlukan izin dari Dinas Kesehatan (Dinkes). Peserta BPJS Kesehatan dapat memilih faskes tingkat pertama yang berbeda selama memenuhi ketentuan yang berlaku, sesuai dengan ketentuan domisili atau tempat tinggal peserta.
Hal itu terungkap dalam Sarasehan Perhimpunan Klinik se-Jawa Timur yang bertema “Upaya Promotif dan Preventif Serta Kepesertaan Faskes Primer Dalam Mensukseskan Pemerintahan Prabowo” di Hotel Novotel Samator Surabaya pada Jumat (14/3/2025).
Acara itu dihadiri Pengurus PKFI Wilayah dan Cabang PFKI Kota dan Kabupaten se-Jawa Timur.
Disamping itu, hadir pula Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan Pusat Ir. David Bangun, M.Eng, Deputi BPJS pusat, Dr Fachrurozi Deputi BPJS Pusat, Deputi Direksi VII BPJS Wilayah Jatim dr. I Made Puja Yasa, AAK, Kabid Pelayanan Kesehatan Primer Ibu Sri Haripi SKN Mkes, Ketua komisi E DPRD Jatim DR. Dr. Sri Untari Bisowarno, M.AP serta anggota komisi E DPRD Jatim, diantaranya dr Benjamin Kristianto M.A.R.S dan Dr Rasiyo, M.Si
Dalam diskusi tersebut, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Jatim dr Agung Mulyono mengatakan, dalam reses dan sosialisasi menerima aspirasi dari konstituen, yang ingin pindah Faskes kepesertaan BPJS Kesehatan dan tidak memerlukan izin dari Dinkes setempat.
Menanggapi hal itu, Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan Pusat David Bangun membenarkan bahwa perpindahan peserta BPJS Kesehatan dari Puskesmas ke klinik tidak lagi memerlukan izin dari Dinkes.
Bahkan, menurut dia, jika ada kabupaten/kota yang mengunci kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) ke Faskes lain merupakan bentuk pelanggaran aturan.
David Bangun juga menjawab pertanyaan peserta bahwa dalam acara reses, sosialisasi kedewanan dan upaya klinik penyuluhan kolektif dan saat itu terjadi perpindahan peserta ini adalah perpindahan natural, bukan mobilisasi.
Menurut David Bangun, PBI daerah saat daftar awal ke Puskesmas, tetapi setelah tiga bulan boleh pindah. Klinik boleh mengundang warga dengan acara tertentu terkait dengan kesehatan, dan diperbolehkan menawarkan pindah Faskes asalkan peserta mau. Tidak perlu izin dari Dinkes setempat.
“Bahkan, menurut dia, jika ada kabupaten/kota yang mengunci kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) ke Faskes lain merupakan bentuk pelanggaran aturan,” tegasnya.
Sementara itu, dr Agung Mulyono menekankan bahwa rasio dokter dengan jumlah peserta yang tidak sesuai regulasi menjadi salah satu masalah serius dalam layanan kesehatan di Puskesmas. Dalam aturan disebutkan, rasio perbandingan satu dokter dengan 5000 peserta.
“Saya akan cek Puskesmas yang rasio dokter melanggar regulasi, dan itu yang mestinya prioritas untuk diredistribusi. Bagaimana kita bisa bicara mutu layanan kalau rasio dokter tidak sesuai regulasi?” ujar pria asal Banyuwangi.
“Kasihan klinik swasta, hampir banyak yang terpaksa tumbang karena sulitnya menambah peserta kapitasi,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya melibatkan klinik swasta dalam distribusi peserta BPJS Kesehatan.
Menurut Agung,, klinik swasta memiliki peran penting dalam memperluas akses layanan kesehatan, apalagi mengingat kondisi Puskesmas yang terbatas dalam hal tenaga medis.
“Mestinya, klinik swasta juga diberikan hak yang sama dalam distribusi peserta, karena mereka memiliki peran vital dalam sistem layanan kesehatan di masyarakat. Regulasi harus jelas dan melibatkan peran swasta, agar klinik swasta dapat lebih berperan aktif dalam mendukung layanan kesehatan,” harapnya.
Lebih jauh alumnus Fakultas Kedokteran Unair itu menjelaskan bahwa peserta BPJS Kesehatan kini memiliki fleksibilitas untuk pindah faskes tanpa perlu mendapatkan izin dari Dinas Kesehatan setempat, asalkan tidak ada paksaan dan atas persetujuan peserta.
“Setelah sarasehan hari ini, banyak pencerahan, baik dari Direksi BPJS Kesehatan maupun Deputi BPJS Jatim. Warga boleh pindah faskes, asalkan itu atas kemauan mereka dan tidak ada paksaan,” kata politikus yang hobby gowes.
Ditambahkan dr Agung, perpindahan faskes yang dimaksudkan di sini adalah pindah secara natural, sesuai dengan keputusan peserta yang memang ingin pindah, dan bukan pindah secara “goib” atau tanpa persetujuan mereka.
Dalam sarasehan ini, politikus Partai Demokrat itu juga mengingatkan agar pemilik klinik swasta lebih proaktif dalam mengundang masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan kesehatan seperti senam atau pemeriksaan kesehatan rutin, sambil menawarkan kesempatan untuk berpindah faskes.
“Jika peserta bersedia dan mengikuti prosedur yang benar, termasuk memberikan data diri seperti foto wajah dan KTP, maka mereka bisa berpindah faskes tanpa hambatan. Klinik harus lebih aktif mengedukasi masyarakat tentang hak mereka untuk memilih faskes yang sesuai,” jelasnya.
Dokter Agung mengatakan, upaya meningkatkan mutu layanan kesehatan di Jawa Timur menjadi salah satu fokus utama dalam sarasehan ini. Dengan melibatkan lebih banyak klinik swasta, diharapkan kualitas layanan kesehatan di wilayah Jawa Timir dapat meningkat secara signifikan.
“Biaya kesehatan saat ini mayoritas digunakan untuk rawat inap, lebih dari 85%. Sementara itu, rawat jalan atau layanan di faskes primer hanya menyumbang kurang dari 15%. Ini menunjukkan bahwa upaya promotif dan preventif di faskes primer perlu lebih ditingkatkan agar kita dapat mengurangi angka rawat inap,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Komisi E DPRD Jatim Sri Untari Bisowarno, mendorong agar kebijakan redistribusi peserta BPJS Kesehatan dapat berjalan dengan baik, guna meningkatkan pemerataan akses dan kualitas layanan kesehatan di Jawa Timur.
Dalam sambutannya, sekretaris DPD PDI Perjuangan Jatim itu menyampaikan bahwa redistribusi peserta BPJS Kesehatan sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat yang membutuhkan fasilitas kesehatan primer yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.
Anggota komisi E DPRD Jatim lainnya, dr Benjamin Kristianto mengungkapkan bahwa salah satu masalah besar yang dihadapi oleh klinik swasta adalah kesulitan dalam menambah kapitasi.
Menurutnya, meskipun klinik swasta memiliki peran yang sangat penting dalam distribusi peserta BPJS, mereka sering kali terhambat oleh kebijakan wilayah setempat yang belum update regulasi, bahwasanya pindah faskes sepenuhnya hak peserta.
Sementara itu, Direksi VII BPJS Wilayah Jatim dr. I Made Puja Yasa menegaskan bahwa dalam rangka mendukung upaya preventif dan promotif yang lebih maksimal, BPJS Kesehatan merujuk pada Permenkes Nomor 3 Tahun 2023 yang mengatur penguatan faskes primer.
“Harapan ke depan, peran faskes primer tidak hanya terbatas pada pengobatan, tetapi juga harus berfokus pada upaya promotif dan preventif untuk mencegah kesakitan lebih baik lagi,” ungkapnya.
Upaya promotif dan preventif di fasilitas kesehatan primer, seperti Puskesmas dan klinik swasta, menjadi sangat penting untuk menurunkan angka penyakit berat yang membutuhkan perawatan rumah sakit.
Menurut dr. Puja Yasa, hal ini sangat relevan untuk mencapai tujuan Universal Health Coverage (UHC) yang berkualitas. Dalam diskusi mengenai redistribusi peserta BPJS Kesehatan, dr. Puja juga menjelaskan bahwa proses ini bergantung pada persetujuan peserta.
“Redistribusi ini bertujuan untuk peningkatan pemerataan akses dan kualitas pelayanan bagi peserta. Jika peserta JKN setuju untuk pindah faskes, maka itu menjadi kewenangan peserta sepenuhnya,” ujarnya.
Peserta BPJS Kesehatan dapat memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka, tanpa harus terhambat oleh regulasi yang mengikat, asalkan mereka mengikuti prosedur yang berlaku, seperti memberikan identitas diri berupa foto dan KTP.
Terkait dengan laporan hilangnya peserta dari beberapa faskes, dr. Puja Yasa menyampaikan bahwa pihak BPJS Kesehatan pusat akan melakukan validasi terhadap data peserta yang hilang.
“Jika ditemukan peserta yang hilang tanpa alasan yang jelas, kita akan melakukan pengecekan lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya. Jika ada pelanggaran, kita tidak akan ragu untuk mengambil tindakan,” tegas dr. Puja Yasa.
Kebijakan redistribusi peserta ini, menurut dr. Puja Yasa, diharapkan akan memperbaiki pemerataan akses dan kualitas layanan kesehatan di seluruh Jawa Timur.
“Redistribusi ini bukan hanya tentang memindahkan peserta, tetapi lebih kepada memastikan bahwa setiap peserta memiliki akses ke fasilitas yang memberikan layanan terbaik, sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka,” pungkasnya. (pun)