SabdaNews.com – Ketua DPRD Jawa Timur Musyafak Rouf menyatakan Pagelaran Wayang Kulit di halaman Kantor DPRD Jawa Timur sebagai puncak filosofis peringatan Hari Jadi ke-80 Provinsi Jawa Timur. Ia menegaskan, di tengah pembangunan fisik dan infrastruktur, Jawa Timur juga membutuhkan pondasi spiritual dan etika.
Pagelaran wayang yang menampilkan dalang Ki Purbo Asmoro dengan lakon Wahyu Katresnan itu digelar di kompleks DPRD Jawa Timur, Jalan Indrapura Surabaya, Jumat (14/11/2025) malam. Kegiatan ini sekaligus menandai kembalinya tradisi “wayangan” di rumah wakil rakyat setelah absen lebih dari satu dekade.
“Pagelaran wayang kulit yang kita laksanakan hari ini adalah bagian dari peringatan hari jadi ke-80 Provinsi Jawa Timur,” ujar Musyafak dalam sambutannya.
Politikus asal PKB ini mengingatkan, Jawa Timur merupakan salah satu dari delapan provinsi pertama yang dibentuk pada awal kemerdekaan, tepatnya 12 Oktober 1945. Menurut Musyafak, sejarah panjang tersebut menunjukkan kematangan Jawa Timur dalam bernegara.
Slogan Jatim Tangguh Terus Bertumbuh yang diusung Pemprov Jatim, kata Musyafak, mencerminkan fokus pembangunan pada ketahanan ekonomi dan pertumbuhan berkelanjutan. Namun, pihaknya mengingatkan agar gairah pembangunan fisik tidak mengabaikan dimensi batin.
“Di antara hiruk-pikuk pertumbuhan fisik dan infrastruktur, kita menyadari perlunya pondasi spiritual dan etika,” katanya.
Ia menjelaskan, kembalinya pagelaran wayang kulit di DPRD Jatim setelah hampir satu dekade vakum bukan sekadar menambah agenda seremonial. Tradisi ini diposisikan sebagai peneguhan kembali kearifan lokal yang sempat “kosong” dalam ruang-ruang resmi pemerintahan.
“Melalui inisiatif DPRD Jatim, kita mendeklarasikan gerakan revitalisasi budaya. Sebuah komitmen untuk membersihkan kerutan ‘sukerta’ yang mungkin melekat pada lingkungan sosial dan politik kita,” tutur Musyafak.
Tema yang diangkat, “Meruwat Jawa Timur, Merawat Indonesia”, disebut sarat makna. Musyafak memaknai ruwatan sebagai upaya pemurnian sekaligus selamatan kolektif dari berbagai kesulitan hidup.
Dalam konteks pemerintahan modern, “meruwat Jawa Timur” ia artikan sebagai ikhtiar membersihkan keruwetan sosial dan mencegah konflik horizontal yang dipicu sentimen perbedaan keyakinan di akar rumput.
“Ini deklarasi politik budaya, bahwa kita kembali bergairah dan bertekad menegakkan pembangunan yang dilandasi niat bersih dan etika luhur,” tegas mantan Ketua DPRD Kota Surabaya ini.
Musyafak menilai, jika Jawa Timur sebagai provinsi dengan penduduk heterogen berhasil menjaga keharmonisan internal, maka provinsi ini telah ikut “merawat Indonesia”. Ia menyebut Jawa Timur sebagai salah satu barometer kerukunan nasional, antara lain terlihat dari meningkatnya indeks kerukunan umat beragama (KUB) yang mencerminkan moderasi dan sikap saling memahami atau toleran.
Dalam sambutan itu, ia juga menegaskan kembali bahwa wayang kulit bukan sekadar hiburan, melainkan tuntunan penuh filosofi. Apalagi, wayang sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan.
“Pengakuan dunia ini memberikan konsekuensi moral bagi kita untuk konsisten melestarikan budaya ini,” ujar Musyafak.
Melalui lakon-lakon pewayangan, kata pria asal Surabaya, publik diajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sebagaimana termaktub dalam ajaran Asta Brata atau kisah Kresna Duta yang mengutamakan keutamaan moral di atas kekerasan. Seorang pemimpin ideal, ia gambarkan, adalah sosok yang memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.
“Inilah mantra yang kami gunakan di DPRD Jawa Timur. Setiap kebijakan dan pengawasan anggaran harus lolos ujian filosofis ini: apakah benar-benar bermanfaat bagi rakyat atau hanya melayani segelintir kepentingan,” dalihnya.
Di akhir sambutan, Musyafak mengajak generasi muda, khususnya milenial dan Gen Z, untuk kembali mencintai dan melestarikan wayang kulit agar tidak tercerabut dari akar budaya leluhur.
“Mari kita jadikan pagelaran wayang kulit malam ini sebagai perwujudan komitmen politik kita bersama, bahwa pembangunan fisik harus sejalan dengan pembangunan mental dan spiritual,” pungkasnya. (pun)
