Opini Publik
Oleh: Daeng Sultan
SabdaNews.com- Kangean, pulau yang katanya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, kini seperti berdiri di luar wilayah hukum itu sendiri. Di sini, parang dan celurit tampak lebih dihormati daripada seragam aparat. Petasan besar dan bom ikan menjadi alat komunikasi paling efektif — lebih cepat dari surat panggilan resmi polisi.
Pengancaman, pengusiran, dan kekerasan terbuka kini seolah sudah menjadi pemandangan biasa. Anehnya, semua itu seakan punya izin tak tertulis dari “kebisuan” aparat. Setiap kali terjadi ancaman terhadap kapal pekerja atau proyek negara, yang muncul bukan penegakan hukum — tapi penonton diam berseragam.
Mungkin aparat di Kangean sedang sibuk. Sibuk menunggu perintah, sibuk menimbang angin, atau mungkin sibuk memastikan jangan sampai ketegasan mereka menyinggung siapa pun. Karena di Kangean, hukum tampaknya bekerja dengan logika “jangan ribut, nanti susah sendiri.”
Ironis, di saat hukum dibutuhkan, justru hukum memilih bersembunyi. Di saat rakyat takut, aparat malah tenang — seperti tak ada apa-apa. Kalau begini terus, mungkin kita perlu ganti istilah: bukan “penegak hukum,” tapi “penonton hukum.”
Kangean bukan zona bebas hukum, tapi sayangnya, banyak yang memperlakukannya seolah demikian. Negeri ini konon punya semboyan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Tapi di sini, yang teguh hanyalah rasa takut, dan yang runtuh justru wibawa hukum.
Maka, jika aparat memang masih ada, semoga mereka sadar: diam itu bukan netral, tapi berpihak — kepada kekacauan. Dan jika hukum masih dianggap hidup di Kangean, maka saatnya ia bangun, sebelum rakyat benar-benar menganggapnya mati. ( Penulis : Aktivis Kangean/Red)

