Penulis : Mas’ud Hakim, M.Si., M.H.
SabdaNews.com- Penegakan hukum pada dasarnya merupakan bagian integral dari tujuan hukum itu sendiri. Keadilan sebagai tujuan tertinggi hukum yang berhimpitan dengan tujuan akhir masyarakat, ternyata merupakan entitas yang sangat abstrak dan multi tafsir. Oleh karena itu pemaknaan keadilan secara konkret dalam bentuk penegakan hukum merupakan praktik dinamis yang menjadi tanggung jawab bersama. Salah satu yang patut disorot adalah penegakan hukum yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat didalam negara demokrasi.
Hukum harus dapat menjamin kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat sebagaimana diamanatkan didalam perundang-undangan. Dengan demikian jangan sampai terjadi sebaliknya, hukum tergerus menjadi alat penguasa untuk mengekang kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab sebagai pilar demokrasi harus mendapat jaminan penuh dari hukum.
Sudah lama disadari bahwa secara hakiki studi kebebasan merupakan wilayah yang sangat kompleks, sehingga dapat dipertanyakan dan dibahas oleh berbagai disiplin ilmu. Kebebasan tidak hanya dapat diberi label sebagai hak dan kemampuan untuk memilih dan berpikir, namun juga menjangkau pertanggung-jawaban atas suatu tindakan yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Konsep kebebasan yang mencakup kebebasan berpikir, memilih, dan bertindak, harus selalu terhindar dari nuansa paksaan dan pembatasan-pembatasan tidak sah. Secara filosofis telah menempatkan makna kebebasan dan tanggung jawab sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan. Tidak mungkin ada kebebasan tanpa tanggung jawab, sehingga makna
kebebasan tidak berarti kebebasan yang tanpa batas.
Kebebasan mutlak harus diimbangi dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Didalam konteks politik, pembahasan tentang kebebasan pada umumnya dikaitkan dengan hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan berpendapat. Konsep teori kebebasan yang berkembang di dunia dan patut untuk diketengahkan, antara adalah: (1) Teori Kebebasan Moral. Hal ini berarti kebebasan adalah kemampuan untuk memilih dan bertindak sesuai dengan hukum moral yang dihasilkan oleh akal budi. Kebebasan tidak dibenarkan jika bertitik tolak dari hawa nafsu; (2) Teori Kebebasan Bertanggung Jawab.
Hal ini berarti penggunaan kebebasan harus selalu menghormati hukum yang berlaku. Kedua teori kebebasan tersebut dianggap telah membantu pemahaman lebih baik atas konsep kebebasan sebagai suatu konsep yang kompleks dan memiliki berbagai interpretasi. Pemahaman terhadap berbagai teori kebebasan pada gilirannya dapat membantu untuk lebih menghargai hak asasi manusia dan menciptakan masyarakat demokratis dan berkeadilan.
Kebebasan berpendapat yang berkelindan dengan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dan demokrasi, secara normatif mendapat jaminan konstitusional didalam UUD 1945. Khusus berkaitan dengan kebebasan menyampaikan pendapat di Indonesia, maka jaminan hukum dalam bentuk perundang-undangan antara lain terdapat pada: (a) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk berpendapat dan menyampaikan pendapat.
Pasal 28 juga menyatakan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan; (b) UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi; (c) Pasal 23 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan Negara. Ketentuan ini bertujuan melindungi hak warga negara dalam menyampaikan pendapat dan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Adanya legitimasi filosofis, teoritis, dan dogmatis atas kebebasan berpendapat di negara demokratis Indonesia, ternyata pada tataran praktik penegakannya banyak dinilai belum sesuai harapan. Pemerintah ditengarai banyak mengabaikan prinsip dan norma sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang. Hak-hak masyarakat yang seharusnya dilindungi justru menjadi kebalikannya. Kondisi demikian telah menjadikan hukum tidak lebih bagaikan tameng penguasa dalam menghadapi masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Kritik membangun dikonstruksikan sebagai kriminal yang harus segera dieliminasi. Padahal nafas demokrasi hanya dapat tumbuh wajar jika beriringan dengan partisipasi masyarakat yang sadar pada proses hidup berbangsa dan bernegara tanpa ada rasa takut. Proses demokrasi yang dirasakan masyarakat dewasa ini menunjukkan betapa kuatnya peran hukum dalam fungsinya sebagai pengekang kebebasan berpendapat dimuka umum.
Termasuk didalamnya penerapan UU ITE yang membatasi ruang gerak pengguna medsos dalam menyampaikan pendapat. Hukum yang seharusnya berjalan selaras dengan proses demokrasi yang berwujud terciptanya kesadaran partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi tidak tercapai.
Kesimpulaan sementara yang dapat dipetik adalah, hingga kini pemerintah masih menggunakan hukum sebagai alat untuk membatasi hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa hukum kurang berjalan selaras dengan proses demokrasi.
Berdasarkan kondisi demikian, maka rekomendasi yang patut diperhatikan pemerintah antara lain adalah: (1) Pemerintah harus segera memberlakukan hukum lebih sebagai pengayom masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Harus diingat bahwa demokrasi tidak mungkin dapat tumbuh sehat manakala hukum difungsikan sebagai tameng pembenar oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. ( Penulis : Mas’ud Hakim, M.Si., M.H. Ketua LSM PiAR, Koord MAKI Gresik Ketua LBH PANGLIMA/red)