Home KESRAdr Benjamin Dukung Uji Coba Vaksin BCG Bill Gates

dr Benjamin Dukung Uji Coba Vaksin BCG Bill Gates

Vaksinasi TBC Yang Sudah Berjalan Efektivitasnya Patut Dipertanyakan

by Redaksi

SabdaNews.com – Rencana pendiri Microsoft, Bill Gates, menjadikan Indonesia sebagai lokasi uji klinis vaksin tubercolosis (TBC) menuai tanggapan beragam dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari dr Benjamin Kristianto MARS, anggota Komisi E DPRD Jawa Timur.

Seperti diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto telah menerima kunjungan Bill Gates di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 7 Mei 2025. Dalam pertemuan tersebut, terungkap bahwa vaksin TBC yang dikembangkan Bill Gates akan diuji coba di Indonesia.

Menurut dr Benjamin, TBC masih menjadi salah satu penyakit mematikan di Indonesia. “Kita tahu angka kematian TBC cukup tinggi, kalau tidak salah antara 5 sampai 6 per hari, itu orang bisa meninggal,” ujar dr Benjamin di DPRD Jatim, Rabu (14/5/2025).

Ia pun mempertanyakan efektivitas vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) yang selama ini diberikan kepada bayi baru lahir di Indonesia.

“Nah yang jadi lucu, pertanyaannya adalah sejak kita lahir itu kita sudah diimunisasi namanya BCG, seluruh rakyat begitu lahir langsung diimunisasi BCG. Logikanya, maka dia akan kebal terhadap penyakit TBC. Tapi nyatanya kan kasus TBC masih tinggi,” beber Benjamin.

Untuk itu, pihaknya sangat mendukung program pemeriksaan kesehatan rutin seperti Medical Check Up (MCU) gratis yang menjadi bagian dari program Presiden Prabowo, terutama untuk mendeteksi dini gejala TBC.

“Salah satu program dari Pak Prabowo adalah MCU pada hari ulang tahun, itu tujuannya untuk memastikan apakah paru-paru dari seluruh rakyat Indonesia itu baik atau memang ada flek-flek awal dari TBC,” jelas legislator asal Partai Gerindra.

Ia menilai pelaksanaan vaksinasi ulang terhadap TBC sangat penting, mengingat efektivitas vaksin sebelumnya masih patut dipertanyakan.

“Kalau itu baik, maka saya setuju sekali bahwa harus dilakukan vaksinasi TBC lagi. Karena kita tidak yakin vaksin yang kemarin itu berhasil, mestinya kalau berhasil, angka penyakit TBC kan nol, bukan menjadi angka kematian yang tinggi,” dalih alumnus Fakultas Kedokteran Unair ini.

Terkait istilah “uji coba klinis” yang digunakan pemerintah pusat, dr Benjamin menjelaskan pentingnya memastikan berbagai aspek teknis dalam program vaksinasi.

“Vaksin itu bisa berfungsi dengan baik, satu apakah vaksinnya itu bagus atau tidak. Kedua, apakah penyimpanannya itu benar atau tidak. Ketiga, pemberian, tekniknya benar atau tidak,” jelas pria asal Sidoarjo.

Ia menekankan bahwa meskipun vaksin berkualitas, jika penyimpanan dan teknik pemberiannya salah, maka efektivitasnya tetap tidak maksimal.

“Vaksinnya itu bagus, misalnya, tapi pas disimpan di kulkas nggak bagus, ya bakal mati. Lalu pada saat menyuntikkannya juga salah, ya mati juga, hasilnya tidak akan sesuai yang diharapkan,” tegas Benjamin.

Karena itu, pihaknya menilai uji klinis sangat penting untuk menemukan titik lemah dari pelaksanaan vaksinasi sebelumnya.

“Makanya mungkin diistilahkan itu percobaan, itu sebenarnya adalah mencoba di titik lemah mana yang menyebabkan angka kegagalan itu cukup tinggi dari vaksin yang kemarin maksudnya,” imbuhnya.

Mengenai biaya vaksin TBC, dr Benjamin menyatakan vaksin tersebut seharusnya diberikan secara cuma-cuma alias gratis. “Seharusnya gratis, termasuk program daripada pemerintah,” jelas Benjamin.

Ia juga mengingatkan bahwa TBC adalah penyakit menular melalui droplet. Oleh sebab itu, kesadaran masyarakat untuk menjaga etika batuk dan jujur dalam melaporkan gejala sangat penting.

“Jadi sebenarnya TBC itu menularnya droplet. Droplet itu penularannya dari lidah. Nah, jadi kalau kita bicara begini, kalau ada yang TBC, itu bisa menular, kalau kebetulan kita lempar (air liur), kehirup, masuk, ya kenalah,” terangnya.

Mengenai urgensi pemberian vaksin TBC baru, ia menyarankan agar hal itu dilakukan secepat mungkin. “Segera. Sebenarnya kan Jawa Timur sendiri sudah ada program, bahkan ada aplikasi yang digunakan untuk men-screening awal, sudah ada programnya,” beber Benjamin.

Kendati demikian, dr Benjamin mengakui masih ada tantangan dalam penerapan teknologi tersebut di lapangan.

“Tapi masalahnya kan apakah masyarakat itu ngerti menggunakan aplikasi tersebut. Lalu kedua, apakah mereka takut, misalnya ada pertanyaan, saya batuk-batuk atau tidak, dijawabnya tidak, karena dia takut,” ungkapnya.

Menurutnya, kejujuran masyarakat dalam mengisi screening awal data kesehatan sangat menentukan keberhasilan pencegahan TBC.

“Sebenarnya kan bukan di situ, bahwa TBC itu bisa diobati dan bisa dicegah. Jadi kalau orang itu dia berani jujur, maka dia bisa diobati, dan keluarganya yang tinggal satu rumah bisa kita cegah supaya tidak tertular,” pungkas Benjamin. (pun)

You may also like

Leave a Comment