BATU.SabdaNews.com – Rapat Panitia Khusus (Pansus) BUMD DPRD Jawa Timur di Balai Kota Batu, Rabu (17/12/2025), mengungkap tabir persoalan kronis di tubuh PT Jatim Graha Utama (JGU). Di balik nilai aset fantastis sebesar Rp797 miliar, terkuak adanya inefisiensi pengelolaan, status legalitas yang menggantung, hingga beban penugasan masa lalu yang dinilai menghambat kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Anggota Pansus BUMD, Hadi Setiawan, menyoroti kegagalan manajemen dalam menuntaskan legalitas aset. Meski sudah mengantongi Legal Opinion (LO) dari Kejaksaan, banyak aset strategis PT JGU yang hingga kini belum bersertifikat.
Politikus Partai Golkar ini secara khusus menyentil peran Dewan Komisaris yang notabene diisi oleh pejabat Pemprov Jatim. Ia menilai sinergi antara Komisaris dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta Biro Perekonomian sangat lemah.
”LO Kejaksaan itu harusnya didiskusikan lintas instansi untuk solusi, bukan didiamkan. Ada kesan saling lempar tanggung jawab antara BUMD dan BPKAD. Padahal, aset yang tidak bersertifikat ini membebani keuangan karena biaya perawatan jalan terus, tapi nilai ekonomisnya nol,” tegas Hadi.

Menjawab kritik tersebut, Direktur Utama PT JGU, Mirza Muttaqien, membeberkan realita pahit di sisi operasional. Mirza mengungkapkan bahwa PT JGU saat ini memikul beban aset besar yang mayoritas tidak produktif.
Ia menegaskan bahwa banyak unit usaha PT JGU bukan lahir dari perencanaan bisnis yang matang, melainkan “penugasan paksa” melalui Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur (Pergub) Jatim.
”Puspa Agro, JPU, hingga pengolahan limbah PJL itu penugasan. Kami tidak merencanakannya, tiba-tiba ada Perda dimasukkan ke PT JGU. Ini membuat fokus bisnis kami terpecah,” ungkap Mirza.
Mirza juga mengungkap fakta bahwa sejak 2014, JGU tidak lagi menerima penyertaan modal tunai (investasi baru), sehingga perusahaan hanya beroperasi dalam mode “bertahan hidup” (sustain), terutama pasca-pandemi Covid-19.
Pansus dan Direksi sepakat bahwa jika kondisi ini dibiarkan, harapan untuk menyumbang PAD yang signifikan hanya akan menjadi angan-angan. Sebagai solusi radikal, Mirza mengusulkan agar aset-aset yang tidak bisa dioptimalisasi sebaiknya dijual atau ditarik kembali oleh Pemprov Jatim.
”Kalau tidak bisa dioptimalkan atau dijadikan jaminan karena aturan Kemendagri, ya tarik saja lagi ke Pemprov. Tidak fair jika kami dibebani aset rusak tapi dituntut laba tinggi,” tambah Mirza.
Hadi Setiawan merespons sinis terhadap ketidaksiapan manajemen tersebut. Ia menilai aset ratusan miliar di JGU dikelola secara tidak serius.
“Jangankan bicara PAD, mengurus beban internalnya saja mereka sulit. Kami melihat ada indikasi ketidakseriusan dari level komisaris hingga direksi,” tutup Hadi.
Sekedar diketahui, akar masalah PT JGU dapat dikelompokkan menjadi empat hal. Pertama, Fakta Aset : total aset PT JGU tercatat sekitar Rp797 miliar, namun likuiditas perusahaan rendah karena aset tersebut berupa tanah/bangunan tak bersertifikat.
Kedua, Vakum Investasi: tidak ada suntikan modal baru dari Pemprov Jatim sejak tahun 2014 alias 11 tahun vakum.
Ketiga, Anomali Organisasi: JGU bertindak sebagai “holding” bagi anak perusahaan (Puspa Agro, JPU, PJL) yang mayoritas adalah limpahan penugasan, bukan inisiatif bisnis murni.
Dan terakhir atau Keempat, Hambatan Regulasi: Aturan Kemendagri mempersulit aset BUMD untuk dijadikan jaminan pembiayaan bank, menciptakan kebuntuan modal kerja. (pun)
