Opini Publik
Oleh: Rasyid Nadyn
SabdaNews.com-Narasi ini bukan sekadar sorotan, melainkan seruan etis yang mendesak. Di tengah wacana peningkatan mutu pelayanan kesehatan, muncul ironi profesional di Kabupaten Sumenep: dugaan praktik seorang dokter di rumah sakit swasta yang sempat menjalani perawatan intensif akibat gangguan kejiwaan.
Informasi yang beredar di kalangan internal medis menyebutkan bahwa dokter tersebut pernah dirawat selama beberapa hari karena kondisi depresif di fasilitas medis yang sama tempatnya kini bertugas. Fakta seperti ini, sejatinya, bukan untuk membuka ruang privasi seseorang, namun untuk menegaskan pentingnya aspek kesehatan mental klinisi sebagai bagian dari integritas profesi dan keselamatan pasien.
Dokter jiwa yang merawatnya dihubungi terpisah, sementara tidak berani membuat statemen, padahal kami sudah punya rekam medisnya. Hal ini menuntut perhatian serius dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Publik berhak atas jaminan bahwa dokter yang menangani mereka berada dalam kondisi mental yang stabil dan kompeten menjalankan tanggung jawab klinisnya.
Apabila benar bahwa dokter yang bersangkutan telah dinyatakan “layak praktik” pasca-perawatan, maka proses verifikasi etik dan klinis yang mendasarinya harus dapat diuji secara transparan. Validasi semacam ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan benteng moral profesi kedokteran.
Ketiadaan mekanisme evaluasi yang terbuka dan objektif bukan hanya kekurangan prosedural, tetapi bisa menjadi potensi pelanggaran etik yang mengancam kepercayaan publik terhadap lembaga medis dan profesi dokter secara umum. Dalam hal ini, tanggung jawab moral melekat pada rumah sakit dan para pejabat etik yang memberi izin praktik.
Saya, Rasyid Nadyn, menegaskan bahwa bila otoritas etik IDI, MKEK, maupun manajemen rumah sakit lamban atau enggan bertindak, maka langkah pelaporan resmi kepada lembaga yang lebih tinggi menjadi keniscayaan moral. Profesi kedokteran berdiri di atas fondasi kepercayaan (fides) dan kemantapan mental yang tak boleh dikompromikan.
Sikap kritis terhadap potensi risiko bukan kriminalisasi, melainkan tindakan penjagaan etika. Sebaliknya, pembiaran terhadap indikasi pelanggaran etik dan risiko terhadap pasien adalah bentuk kejahatan moral yang tak dapat ditoleransi. Integritas rumah sakit harus dijaga dengan keberanian moral, bukan dengan kompromi demi citra kelembagaan. Publik menuntut kejelasan, ketegasan, dan pertanggungjawaban profesional yang penuh martabat. (Penulis : Rasyid Nadyn Warga Kangean/Red)