Home NewsProfesi Wartawan Perspektif Hermeneutika Al Qur’an

Profesi Wartawan Perspektif Hermeneutika Al Qur’an

by sabda news

Opini Publik

Penulis    :  @Hiyan Elbanis

SabdaNews.com- Profesi ini terbilang nyentrik. Tersirat dari nama sebuah surat di dalam wahyu Allah Azza wa Jalla yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad Shollollahu ‘alaihi wasallam, yaitu al Qur’an.  Surat itu disebut an-Naba, kata ini punya arti kegiatan pemberitaan dan orang yang menyampaikan itu disebut an-Nabi. Keduanya punya akar bahasa sama yakni memberitakan atau mengabarkan. Jadi profesi wartawan itu layaknya seperti Nabi mendapat tempat khusus, karena kegiatan menulis dengan disiplin ilmu tulis menulis dalam Al-Qur’an disinggung misalnya di surat Al Qalam ayat 1 disebutkan:   نٓ ۚ وَٱلْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُو

(Nūn. Wal-qalami wa mā yasṭūrūn) yang artinya: “Nūn. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan”. Ayat ini didapati huruf wau qosam (Allah bersumpah) demi pena betapa pentingnya urusan pena dengan apa yang ditulisnya.

Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Kitab Tafsirnya Al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, ketika menafsirkan ayat pertama surah al-Qalam tersebut, mengutip riwayat hadis dari Ibn Abbas, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena), kemudian Allah berkata kepadanya, Tulislah! Pena pun menjawab, Wahai Tuhan apa yang harus aku tulis. Allah menjawab, tulislah qadar (ketentuan). Maka, sejak saat itu berlakulah ketentuan-ketentuan Allah hingga hari kiamat.

Dari rangkaian ayat di atas, jelaslah betapa pentingya pena, hingga Allah pun bersumpah dengannya. Menurut Ibn Katsir, kata “wa al-Qalami”, secara lahiriyah berarti demi pena yang digunakan untuk menulis. Seperti firman Allah pada Qur’an Surat (Q.S) Al-‘Alaq: 4, “Dia yang mengajarkan dengan qalam (pena)”.

Lebih lanjut, Ibn Katsir menegaskan bahwa kata Wa al-Qalami (demi pena) adalah sumpah (qasam) Tuhan pertama dalam Al-Qur’an yang turun tidak lama setelah lima ayat pertama dalam surat al-‘Alaq. Dalam al-Quran, secara eksplisit kata ‘qalam’, yang berarti pena disebut sebanyak tiga kali, yaitu pada Q.S. Al-‘Alaq: 4, Q.S. Al-Qalam: 1, dan Q.S. Luqman: 27.

Sementara untuk kosakata An-Naba’ sendiri disebut sampai 142 kali dalam Al-Qur’an dengan pengertian selalu terkait pemberitaan baik yang sudah terjadi untuk menjadikan hikmah pelajaran hidup, maupun belum terjadi agar menyiapkan bekal hidup sesudah mati.

Profesi wartawan bisa dikatakan unik bila dibandingkan dengan profesional lainnya. Selain jalan yang dilakoninya berliku penuh hambatan dan rintangan kerikil tajam, namun dilewatinya meskipun terkadang harus berdarah untuk mendapatkan sebuah fakta berita yang dianggapnya menarik dalam mengungkap kebenaran.

Tidak semua orang bisa melakoni profesi ini. Tugasnya, kalau boleh saya umpamakan ibarat seorang Nabi yang menyampaikan kabar atau berita, tapi memang tidak sama, bedanya jika Nabi menerima pesan (message) atau teks dari Allah melalui wahyu, perantara malakait Jibril. Sedangkan wartawan itu mendapatkan berita dari hasil pencariannya melalui investigasi, baik dengan cara reportase atau melihat secara langsung dari suatu peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar kemudian dirangkum dalam tulisan disiplin ilmu jurnalistik.

Secara etiomogi Nabi berasal dari bahasa Arab (naba’a, nabi, red) yang berarti seorang penyampai berita. Wartawan adalah penyampai berita dengan medan yang berbeda. Namun masalahnya ketika Nabi menerima pesan dari Tuhan maka akan menyesuaikan teks redaksional bahasa Tuhan dengan pemahaman bahasa umatnya tanpa mengurangi subtansi dari pesan termaksud tersebut. Sebab kalau Nabi itu menyampaikan pesan Tuhan dengan bahasa redaksional-NYA mungkin suatu kaumnya kurang bisa menangkap atau memahaminya (verstehend).

Karenanya diperlukan seorang penterjemah agar bisa memahami pesan-NYA yang dalam hal ini adalah menjadi tugas Nabi sekaligus sebagai juru bicara Tuhan untuk mendialogkan bahasa pesan-NYA kepada manusia dengan bahasa ummi umatnya, agar supaya pesan itu bisa dengan gampang dipahami umatnya. Tetapi walaupun begitu bukan berarti Nabi lantas sesuka hatinya bisa mengubah pesan Tuhan, memang ada hadits qudsi dalam ilmu musthola’ah hadits yaitu firman Allah yang disampaikan dengan bahasa lisan Nabi, namun tidak sama sekali Nabi merubah tujuan dari pesan Tuhan.

Dalam kajian ilmu hermeneutik paling tidak ada tiga hal untuk memahami teks (wahyu) pesan Tuhan, pertama Tuhan sebagai subjek nara sumber kitab samawi, kedua Nabi sebagai objek penyampai teks, ketiga audien (masyarakat). Ketiganya ini saling berkaitan, misalnya Tuhan memberikan pesan kepada Nabi, maka Nabi menyampaikannya kepada audien dengan logika bahasanya menyesuaikan bahasa umatnya agar mudah dipahami, mungkin ada yang berfikir kalau begitu Nabi bisa seenaknya merubah pesan Tuhan berdasarkan seleranya?.

Tentu tidak demikian, sebab Nabi saat menyampaikan pesan-NYA kepada umatnya ia tidak mengubah subtansi dari maksud dan tujuan pesan tersebut. Untuk mendialogkan bahasa Tuhan pada masyarakat maka Nabi melakukan berbagai pendekatan, misalnya melalui tradisi,sosial, budaya,dan karakteristik kepribadian yang sesuai dengan kondisi masyarakat pengikutnya, dengan harapan mereka ini bisa memahami pesan Tuhan.

Diketahui Ilmu Hermeneutik diambil dari kisah mitologi Hermes dari Yunani, konon ceritanya Hermes dipercaya oleh Dewa kepercayaan Yunani untuk menyampaikan pesannya kepada manusia. Hermes ketika menerima pesan dari Dewa, ia tidak menggunakan bahasa Dewa melainkan dengan gaya bahasanya sendiri agar lebih mudah dicerna dan dipahami oleh masyarakatnya. Dalam perkembangannya, hermeneutik inilah dalam pembahasan ilmu filsafat dijadikan oto kritik untuk mentelaah kebenaran teks kitab suci kuno.

Saat ini saja meskipun pesan-NYA sudah tertulis di berbagai kitab samawi ternyata masih menimbulkan banyak multi tafsir dalam pemahaman yang berbeda, bahkan tak jarang malah memutar balikkan fakta dari kebenaran teks kitab suci samawi. Tulisan ini tidak ingin terlalu jauh membahas rinci perdebatan perbedaan cara pandang memahami teks kitab suci samawi, tapi cukuplah bahwa masalah itu menjadi discourse hangat keilmuan hermeneutika yang akan terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman di dunia akademis.

Hanya memang dalam perbedaan menangkap kebenaran kitab suci samawi ini kemudian melahirkan banyak paham beragam, namun muaranya bertujuan sama yaitu ingin memahami masksud tersirat dan tersurat dari pesan Tuhan pada kitab samawi tersebut. Sehingga seandainya masa kenabian itu belum berakhir dan masih terbuka maka tidak akan ada perbedaan dalam memahami kitab suci, karena jika masih ada Nabi akan bisa secara langsung bertanya kepada Nabi tentang bagaimana sesungguhnya memahami pesan Tuhan dalam teks -teks kitab samawi?. Akan tetap era kenabian memang sudah tiada dan kini yang tertinggal adalah jejak pencarian teks pesan Tuhan yang ada di kitab suci samawi, maka dalam memahaminya diperlukan sebuah pendekatan ilmu hermeneutik atau dalam Islam dikenal ilmu tafsir. Dan agama-agama di belahan dunia ini tentu sudah mempunyai tafsirnya sendiri yang didasarkan pada keyakinannya masing-masing.

Dalam konteks kewartawanan, tentu jika ingin memahami realitas dari suatu peristiwa sosial, budaya, politik yang terjadi harus berbijak pada pondasi/kode etik yang menjadi landasan dalam melaksanakan tugas profesi ini. Artinya ketika wartawan menjalankan tugasnya, maka ibarat seorang Nabi saat menerima pesan teks dari Tuhan, dia tidak boleh mengurangi atau menambah isi pesan Tuhan seperti yang telah diuraikan diatas. Demikian pula wartawan dalam menjalankan tugasnya maka mereka harus objektif dalam memberitakan apa adanya isi dan maksud sumber berita.

Dari kaitannya dengan tinjauan hermeneutik,wartawan adalah subjeknya, dan peristiwa atau kejadian ialah objek teksnya, sedangkan media cetak elektronik menjadi audien sebagai wahananya untuk mendialogkan kepada pembaca yang bebas memberikan penilaian penafsirannya. Sehingga jika secara terminologi pemahaman wartawan itu ibarat seorang Nabi, maka ia harus memiliki kejujuran menyampaikan pesan berita yang disharing sajikan.  ‘Wallahu a’lam bisshawab”. Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad.( Penulis @Hiyan Elbanis_Sarjana Tafsir Hadits_IAIN SBY 2000, beliau malang melintang di dunia pers sebagai wartawan sudah bersertifikat UKW Madya dari Dewan Pers/Red)

You may also like

Leave a Comment