Home PEMBANGUNANPotensi Bencana Tinggi, BPBD Jatim Latih Jurnalis Tangguh Bencana Di Taman Tahura R Soerjo

Potensi Bencana Tinggi, BPBD Jatim Latih Jurnalis Tangguh Bencana Di Taman Tahura R Soerjo

by sabda news

MOJOKERTO.SabdaNews.com  – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur kembali menggelar edukasi pencegahan dan mitigasi bencana bersama pokja wartawan untuk mewujudkan Jurnalis Tangguh Bencana di Taman Tahura Raden Soerjo, Cangar Kabupaten Mojokerto, berlangsung selama dua hari Selasa hingga Rabu (30/7/2025).

 

Sebelum memulai rangkaian pelatihan, para peserta juga menyempatkan diri berbagi kebahagiaan dengan anak-anak yatim dibawah naungan LKSA Incerah Seduri, Mojosari, Kabupaten Mojokerto yang juga bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional. Sementara untuk pemateri menghadirkan tiga narasumber, yakni Prof Eko Teguh Paripurna dari UPN Veteran Yogyakarta dan Sri Wahyuningsih dari Sekolah Air Hujan Banyu Bening, Sleman, Yogyakarta. Serta jurnalis fotografer Bahana Patria Gupta.

 

Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Jatim, Gatot Soebroto mengatakan bahwa kegiatan ini bertujuan memperkuat pengetahuan kebencanaan bagi para jurnalis yang biasa meliput bencana agar nantinya mereka bisa menyampaikan informasi terkait kebencanaan  secara tepat kepada masyarakat. Mengingat, Jatim memiliki potensi bencana yang cukup komplek sehingga kerap terjadi bencana.

 

“Media massa itu salah satu bagian dari Pentahelix bencana yang berperan dalam menyebarkan informasi terkait bencana, meningkatkan kesadaran masyarakat, serta mengawal proses penanggulangan bencana. Sehingga pengetahuan kebencanaan ini juga sangat penting bagi para jurnalis,” ujarnya.

 

Gatot berharap kolaborasi antara Pemprov Jatim dan media massa terus terjalin dengan baik. “Ke depan, sinergi dalam penanganan bencana harus semakin solid, agar bisa menghasilkan informasi yang menjadi acuan masyarakat. Mengingat, informasi hoax saat ini sudah mengkhawatirkan di era pesatnya media sosial,” ungkapnya.

Sementara itu Prof. Eko Teguh Paripurno menegaskan, bahwa peran jurnalis sebagai garda terdepan komunikasi kebencanaan sangat dibutuhkan, baik pra bencana seperti pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Maupun paska bencana seperti rehablitasi dan rekontruksi, sehingga dapat menfasilitasi proses membangun ketangguhan bencana.

 

“Peran media pra bencana itu bisa dengan mengedukasi publik dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Lalu pembentukan budaya sadar bencana melalui kebiasaan dan norma yang mendorong ewaspadaan dan tindakan pencegahan dalam kehidupan sehari-hari. Serta mobilisasi komunitas untuk mitigasi non struktural melalui kegiatan penanaman pohon, pembersihan saluran air, atau pembentukan siaga bencana di tingkat lokal,” jelas Eko.

 

Yang tak kalah penting, lanjut Eko adalah menyangkut Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Mengingat, masyarakat adalah garda terdepan dalam menghadapi bencana, sehingga yang paling tahu resiko lokasi dan sumber daya yang tersedia yakni masyarakat iu sendiri.

 

Di sisi lain, pendekatan top down seringkali tidak efektif. Bahkan solusi yang dipaksakan dari atas tanpa partisipasi lokal seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan konteks komunikasi. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat lokal untuk kemandirian menghadapi bencana sangat dibutuhkan sehingga mereka mampu mengelola resiko dan merespon bencana secara mandiri.

 

“Media bisa berperan dengan membuat berita kisah kisah inspiratif tentang bagaimana komunitas mengatasi resiko bencana dengan kekuatan sendiri. Sehingga berita tersebut dapat menggugah desa atau komunitas lain mengadopsi PRBBK. Kalau perlu menyoroti sejauhmana pemerintah mendukung atau malah menghambat inisiatif PRBBK di tingkat lokal,” ungkap Prof Eko.

 

Ditambahkan Prof Eko, urgensi komunikasi bencana itu penting karena dapat mencegah kepanikan atau kekacauan jika informasi tersebut jelas dan terpercaya, sehingga tindakan yang dilakukan juga benar. Kemudian memastikan keselamatan jiwa, meminimalkan kerugian hingga membangun kepercayaan publik.

 

“Komunikasi yang transparan dan jujur ari pihak berwenang akan meningkatkan kepercayaan masyarakat,” tegas pria murah senyum ini.

 

Masih di tempat yang sama, Sri Wahyuningsih memaparkan pentingnya inovasi pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan konsumsi air minum keluarga yang sudah banyak ditinggalkan masyarakat. Padahal dari sisi kesehatan, air hujan yang dikelola dengan baik justru kualitasnya lebih baik dari air tanah.

 

Untuk mengelola air hujan yang baik, lanjut kordinator Sekolah Air Hujan Banyu Bening juga menciptakan inovasi berupa teknologi instalasi sistem lumbung air hujan (ISHLAH) yang dapat diduplikasi masyarakat karena peralatan yang dibutuhkan banyak tersedia di masyarakat.

 

“Prinsip dasarnya air hujan sebelum dimasukkan ke tempat penampungan kita filter sebanyak 3 kali melalui ISHLAH. Bahkan hasil uji menggunakan TDS Tester, kualitas kepadatan air hujan lebih baik dibanding air minum dalam kemasan (AMDK), sehingga masyarakat tidak perlu lagi membeli air minum,” ungkap Sri sapaan akrabnya.

 

Inovasi berikutnya, lanjut Sri bisa menggunakan Elektronika Air. Prinsipnya, air hujan dimasukkan ke dalam alat ini akan dipecah menjadi dua yakni sifat asam dan basa.

 

“Air yang basa itu baik untuk diminum karena bisa menjadi anti oksidan, membawa nutrisi ke seluruh sel tubuh manusia dan bisa menjaga kelembaban sel, sehingga sangat bermanfaat bagi tubuh yang 80 persen berasal dari unsur air,” dalihnya.

 

“Kemandirian air melalui pemanfaatan air hujan ini sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan dapat meminimalasir bencana hidrologi, dimana saat musim penghujan kerap terjadi banjir dan di musim kemarau terjadi kekeringan dimana-mana,” imbuhnya.

 

Sementara itu fotografer senior Bahana Patria Gupta mengingatkan pentingnya persiapan dan empati dalam meliput bencana agar kita bisa terhindar dari dampak bencana yang sedang diliput. Mengingat, kondisi bencana itu situasi menjadi tidak normal sehingga karya jurnalistik yang kita bikin tetap bisa terkirim ke kantor media.

 

“Listrik dan signal di daerah bencana itu biasanya ikut rusak memberseiringi kerusakan bangunan fisik yang ditimbulkan karena itu kita harus tahu dimana posko bencana terdekat sehingga kerja jurnalistik tidak terganggu,” jelas pria humoris ini.

 

Yang tak kalah penting, lanjut Bahana, jurnalis kerap kurang bisa menempatkan diri saat bertemu korban. Padahal simpati itu sangat menentukan agar kerja jurnalistik yang kita lakukan berjalan dengan baik. Ironisya, hal ini juga berdampak pada rekan-rekan jurnalis yang lain.

 

“Saya justru banyak mendapat informasi yang menariik dari anak-anak yang ikut terdampak bencana.  Makanya disela peliputan biasanya saya juga menghibur anak-anak yang ikut terdampak bencana sehingga mereka tidak larut dalam situasi bencana,” pungkasnya.

 

Selain materi dan prakter, para jurnalis juga diajak melakukan penanaman pohon di sekitar kawasan Gunung Lorokan serta melakukan pendakian gunung yang memiliki ketinggian 1.100 mdpl. (pun)

You may also like

Leave a Comment