Home NewsMenggugat Sunyi: Membangun Sistem Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren

Menggugat Sunyi: Membangun Sistem Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren

by sabda news

Oleh: Safiudin

SabdaNews.com-Ketika kita membayangkan pesantren, yang terlintas adalah ruang spiritual yang kental dengan nilai adab, moralitas, dan ketenangan jiwa. Namun, citra tersebut mulai tergores. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum pengasuh pesantren mencuat ke permukaan—dan yang terbaru, terjadi di sebuah dusun kecil di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep.

Lebih dari lima belas anak diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang ustadz berinisial SN. Namun, baru enam korban yang sejauh ini memberikan kesaksian kepada penyidik. Ironisnya, pelaku adalah seseorang yang justru dipercaya untuk mendidik dan melindungi—bukan memangsa.

Tabir Relasi Kuasa yang Membungkam

Kasus ini bukan peristiwa tunggal. Komnas Perempuan mencatat peningkatan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama, namun hanya sebagian kecil yang sampai ke meja hijau. Ada tiga lapisan yang kerap menyelimuti kasus semacam ini: budaya diam, relasi kuasa yang timpang, dan minimnya edukasi seksual di lingkungan pesantren.

Dalam konteks pesantren, hubungan antara pengasuh dan santri bersifat sangat hierarkis. Ketika seorang kyai atau ustadz dianggap memiliki otoritas absolut, ruang kritik dan keberanian untuk bersuara menjadi sempit. Banyak korban bahkan merasa bersalah, terbelenggu dalam rasa malu dan takut.

Filsuf Prancis Michel Foucault pernah menulis bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling mengikat dan menciptakan dominasi senyap. Dalam ruang-ruang yang disucikan oleh simbol agama, kekuasaan bisa menjelma menjadi penjara yang tak kasat mata bagi para korban.

Kekerasan Seksual dan Manipulasi Simbol Moral

Prof. Musdah Mulia, akademisi Islam dan pemerhati gender, mengingatkan bahwa “agama tidak pernah membenarkan kekerasan, apalagi terhadap anak.” Namun justru simbol agama kerap disalahgunakan sebagai tameng untuk menyembunyikan tindakan keji. Dalam banyak kasus, pelaku berlindung di balik sorban dan ayat, sementara korban dipaksa diam oleh stigma dan tekanan sosial.

Kita Tak Bisa Lagi Diam

Mengapa kekerasan seksual di pesantren terus berulang? Salah satu jawabannya adalah kecenderungan untuk lebih sibuk menjaga citra lembaga daripada menyelamatkan korban. Kita takut nama pesantren tercemar, padahal yang lebih penting adalah melindungi anak-anak yang dititipkan dengan penuh kepercayaan.

Kini saatnya bicara. Bukan untuk mencoreng wajah pesantren, melainkan untuk membersihkannya. Bukan untuk menyerang agama, tetapi untuk membela nilai-nilai ilahiah yang menjunjung tinggi martabat manusia—terutama anak-anak.

Langkah Nyata yang Mendesak

1. Reformasi Tata Kelola Pesantren:  Pesantren memerlukan sistem perlindungan anak yang konkret—termasuk SOP internal, audit etika berkala, serta akses terhadap psikolog dan konselor independen.

2. Edukasi Seksual Berbasis Nilai Agama:  UNICEF mencatat bahwa anak yang mendapat edukasi seksual lebih mampu mengenali dan melaporkan kekerasan. Kasus SN baru terungkap setelah korban mulai kuliah—mengindikasikan pentingnya edukasi sejak dini di lingkungan keagamaan.

3. Implementasi Hukum dan Regulasi:  Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 Tahun 2022 harus dijadikan rujukan kerja yang nyata, bukan hanya dokumen simbolik.

4. Pembentukan Satgas Perlindungan Anak Pesantren:  Satgas ini harus terdiri dari tokoh agama, psikolog, pendidik, dan unsur masyarakat sipil untuk memastikan perlindungan menyeluruh di tingkat lokal dan nasional.

Menutup Luka, Membuka Harapan

Kita tak boleh membiarkan lembaga yang seharusnya menanamkan adab justru menjadi tempat di mana adab dilanggar secara brutal. Para santri adalah anak-anak bangsa yang mempercayakan masa depannya kepada institusi pendidikan Islam. Kepercayaan ini harus kita jaga.  “Setiap anak berhak tumbuh dan belajar dalam lingkungan yang bebas dari kekerasan. Pendidikan sejati adalah yang memerdekakan, bukan yang membelenggu.”

Kasus di Kangean dan peristiwa serupa di tempat lain harus menjadi titik balik. Saatnya menggagas perubahan struktural, bukan hanya emosional. Agar pesantren tetap menjadi ruang suci yang meneduhkan, bukan ruang trauma yang dibungkam. ( Penulis  : Pemerhati Pendidikan dan Advokasi Perlindungan Anak & Perempuan/Red)

You may also like

Leave a Comment