SabdaNews.com – Kebangkitan Nahdlatul Ulama (NU) memasuki abad kedua, nampaknya tak jauh berbeda dengan latar belakang pendirian organisasi keagamaan terbesar di dunia yakni ingin membumikan Islam Rahmatan Lil Alamin dengan membangun landasan fikih untuk perdamaian dan harmoni global.
Berbagai pertemuan dengan pemuka agama dari berbagai agama di dunia, maupun dengan sejumlah pemimpin negara di dunia telah dirintis PBNU hingga terbentuklah forum Relegion Twenty (R20) yang menggelar pertemuan tahun lalu di Indonesia.
Hasil pertemuan R20 itu kemudian ditindaklanjuti PBNU dengan menggelar muktamar internasional fikih peradaban 1 menghadirkan cendekiawan muslim dari 23 negara yang kegiatannya masuk dalam rangkaian puncak resepsi 1 abad NU.
Hasil muktamar internasional fikih peradaban 1 itu menjadi tekad 1 Abad NU dalam memasuki abad kedua, dibacakan oleh KH Mustofa Bisri dengan bahasa Arab dan Yanuba Arifah Chafsoh (Mbak Yenny Wahid) dengan bahasa Indonesia pada puncak resepsi 1 Abad NU di GOR Delata Sidoarjo, Selasa (7/2/2023).
Diantara isi rekomendasinya adalah NU berpandangan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan seluruh umat islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilafah harus digantikan dengan visi baru demi kemaslahatan umat.
Cita-cita mendirikan kembali negara khilafah yang dianggap dapat menyatukan umat islam sedunia namun dalam hubungan yang berhadap-hadapan dengan non muslim, bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi.
Sebagaimana terbukti akhir-akhir ini melalui upaya mendirikan negara ISIS, usaha semacam ini niscaya akan berakhir dalam kekacauan dan justru berlawanan dengan tujuan-tujuan pokok dalam agama atau maqosidus syariah yang tergambar dalam lima prinsip yaitu menjaga agama, menjaga akal, menjaga nyawa, menjaga keluarga, dan menjaga harta.
Dalam kenyataanya, usaha-usaha untuk mendirikan kembali negara khilafah yang nyata-nyata bertabrakan dengan tujuan pokok agama tersebut dikarenakan usaha ini menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik.
Bahkan lebih dari itu jika pun akhirnya berhasil usaha-usaha ini juga akan menyebabkan runtuhnya sistem negara bangsa serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia.
Sejarah menunjukkan kekacauan karena perang pada akhirnya akan selalu didampingi penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga dan harta benda.
Dalam pandangan NU, cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat islam seduania adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia baik muslim atau non muslim, serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia anak cucu adam (ukhuwah basyariyah).
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berikut piagamnya memang tidaklah sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat kini. Namun demikian Piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang mat merusak dan praktek-praktek biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah panjang manusia.
Karena itu Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.
Daripada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan umat islam dalam negara tunggal di dunia yaitu khilafah, NU memilih jalan lain mengajak umat islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fikih yaitu fikih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal kebencian antar golongan, mendukung solidaritas dan saling menghargai diantara perbedaan antar manusia, budaya dan bangsa-bangsa di dunia serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis.
Tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara atas martabat setiap umat manusia. Visi seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariah. (tis)