Opini Publik
Oleh: Saiful bahri
SabdaNews.com- Dalam hiruk-pikuk penolakan terhadap eksplorasi eksploitasi migas di Pulau Kangean sering terdengar satu landasan hukum yang dijadikan tameng: Pasal 35 huruf k UU PWP3K (Perlindungan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Banyak yang mengutip, sedikit yang memahami. Banyak yang berteriak atas nama lingkungan, namun lupa bahwa pasal itu bukan larangan mutlak melainkan larangan bersyarat.
Pasal tersebut memang melarang penambangan mineral di pulau kecil jika berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran, atau kerugian bagi masyarakat sekitar. Namun Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan, larangan ini tidak absolut. Penambangan tetap diperbolehkan selama memenuhi syarat-syarat ketat untuk mencegah dampak negatif itu. Dengan kata lain, hukum memberi ruang bagi kegiatan yang terencana, terukur, dan berkeadilan lingkungan.
Masalahnya bukan pada pasalnya, tapi pada cara menafsirkan. Banyak yang memahami UU setengah kalimat lalu membawanya ke jalanan seolah itu kebenaran yang tidak bisa digugat. Padahal jika landasan ilmunya lemah, perjuangan semacam itu justru kehilangan arah. Melawan tanpa ilmu hanyalah bentuk kepongahan dan diam ketika tahu kebenaran adalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani.
Dalam konteks Migas Kangean, UU ini sebenarnya memberi peluang emas bagi rakyat untuk menuntut keterlibatan dan perlindungan hukum secara langsung. Jika benar eksploitasi dilakukan, masyarakat dapat meminta jaminan kajian lingkungan (AMDAL), pembagian hasil yang adil, serta transparansi Dana Bagi Hasil (DBH). Inilah ruang dialog yang seharusnya dimanfaatkan bukan ruang pertikaian yang dipenuhi saling hujat dan tuding.
Sayangnya, sebagian dari kita lebih sibuk memperdebatkan siapa yang menang, bukan apa yang benar. Ada yang menolak tanpa membaca, ada yang mendukung tanpa memahami. Padahal keduanya sama-sama berisiko menjadi “pengkhianat” bukan terhadap pihak lain, tapi terhadap masa depan Kangean sendiri.
Karena sesungguhnya yang benar bukan siapa yang paling keras bicara, tapi siapa yang paling dalam berpikir. Ilmu adalah cahaya di tengah kabut kepentingan, dan hukum adalah kompas agar langkah tak tersesat di jalan yang panjang. Maka, jika hendak menolak atau menerima, lakukanlah dengan ilmu dan tanggung jawab, bukan dengan emosi dan asumsi.
Kangean tidak butuh perang kata-kata. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berdialog dengan kepala dingin dan hati jernih, agar setiap kebijakan benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat bukan pada kepentingan yang terselubung di balik meja kekuasaan.( Penulis Warga Kangean -Sumenep )